Jumat, 14 November 2014

Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis Hewan di Situ Gunung, Sukabumi

LAPORAN FIELDTRIP EKOLOGI DASAR
Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis Hewan di Situ Gunung, Sukabumi

Dosen              : Mardiansyah, M.Si
                                                                              Dina Anggraini, S.Si
Kelompok 4
Ade Puji Setyawati                 (1112095000025)
      Ida Farida                               (1112095000010)
      Laeli Dienul Zahra                  (1112095000023)
Moh Rifqi Al Author              (1112095000030)
Zhafira Amila Haqqa              (1112095000033)

Description: Logo uin Baru

PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Kondisi ini memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Beragam sumber daya alam yang ada dapat menjadi modal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kabupaten Sukabumi berpotensi cukup besar untuk dikelola menjadi daerah tujuan wisata karena terdapat beragam sumber daya alam menarik di dalamnya. Posisi wilayahnya yang berada di dataran tinggi memberikan nilai tambah untuk menghasilkan suasana sejuk yang alami. Selain itu, akses transportasi terhadap tempat wisata relatif mudah dijangkau. Salah satu obyek wisata di daerah Sukabumi yang potensial menarik perhatian wisatawan domestik adalah Taman Wisata Alam Situ Gunung.
Taman Wisata Alam (TWA) Situ Gunung merupakan suatu tempat wisata yang menawarkan objek rekreasi dan daya tarik yang beragam seperti panorama alam yang indah, danau atau situ, air terjun, flora dan fauna serta sejuknya udara pegunungan. Objek rekreasi yang terdapat di TWA Situ Gunung tersebut tergolong pada sumberdaya yang bersifat barang publik dimana konsumsi yang dilakukan seseorang terhadapnya, tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang tersebut. Selain sebagai tempat wisata, kawasan Situ Gunung juga kaya akan sumber daya alam yaitu tumbuhan, hewan, sumber daya air tawar, dll. Informasi mengenai struktur vegetasi dan komposisi jenis hewan merupakan data dasar untuk mengetahui kondisi suatu habitat. Selain itu, data terkini mengenai struktur dan komposisi jenis hewan di suatu kawasan juga merupakan informasi yang penting bagi pengelola kawasan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan hutan.   Oleh karena itu, penelitian mengenai struktur vegetasi dan komposisi jenis hewan dilakukan di Situ Gunung untuk mengetahui kondisi terkini sumber daya alam di daerah tersebut.
1.2 Tujuan
·         Mengetahui struktur dan stratifikasi vegetasi hutan.
·         Mempelajari dan mengetahui Komposisi Jenis Tumbuhan bawah dan Pohon pada pengamatan Analisis Vegetasi
·         Mengetahui Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Pohon
·         Mengetahui Indeks Nilai Penting vegetasi di Taman Wisata Alam Situ Gunung.
·         Mengidentifikasi jenis burung yang ditemukan di Curug dan Danau Situ Gunung, Sukabumi
·         Mengetahui Kekayaan dan Komposisi Jenis Burung serta indeks kesamaan jenis burung di Taman Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi
·         Mengamati dan Mengetahui Perilaku Harian Lutung di Curug dan Danau Situ Gunung, Sukabumi
·         Mengetahui Kekayaan Jenis Herpetofauna yang ditemukan di Danau Situ Gunung, Sukabumi
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1.      Penjelasan mengenai Situ Gunung
Wisata alam Situ Gunung terletak di kaki gunung Gede, dan merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Secara administratif pemerintahan masuk dalam wilayah Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Situ Gunung adalah danau yang dikelilingi oleh hutan alam pegunungan dan hutan tanaman Damar. Situ Gunung ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 461/Kpts/Um/11/1975 tanggal 27 Nopember 1975 seluas 100 Ha. Air danau Situ Gunung berasal dari sumber mata air yang terkenal sebagai Curug Cimanaracun. Tempatnya tidak jauh dari Situ Gunung. Selain Curug Cimanaracun terdapat pula Curug Sawer yang berjarak kurang lebih 2,5 Km. Secara astronomis terletak antara 106 54'37'-106 55'30' Bujur Timur 06 39'40'-06 41'12'.  Lintang Selatan. Situ Gunung terletak di kaki Gunung Pangrango pada ketinggian antara 950-1.036 meter dari permukaan laut. Keadaan topografinya sebagian kecil datar dan sebagian besar bergelombang sampai berbukit. dengan curah hujan berkisar antara 1.611-4.311 mm per tahun dengan 106-187 hari hujan per tahun. Suhu udara berkisar 160C ‘ 280C dan kelembaban rata-rata 84%.
2.2.      Struktur Vegetasi Dan Komposisi Jenis fauna
Kawasan Situ Gunung mempunyai struktur vegetasi dengan keanekaragaman flora, diantaranya adalah : Pulpa (Schima walichii), Rasamala (Altingia Excelsa), Damar (Agathis sp.), Saninten (Castanopsis argentea), Hamirung (Vernonea arborea), Gelam (Eugeunia fastigiata), Kisireum (Cleistocalyx operculata), Lemo (Litsea subeba), Beleketebe (Sloamea sigum), Suren (Toona sureni), Riung Anak (Castanopsis javanica), Walen (Picus Ribes), Merang (Hibiscus surattensis), Kipanggung (Trevesia sondaica), Kiputat (Placchonia valida), Karembi (Homolanthus populnea), Manggong (Macaranga rizoides). Selain jenis-jenis tersebut di atas, terdapat juga jenis Anggrek yang dilindungi, diantaranya yaitu : Anggrek Tanah Bunga Merah, Anggrek Tanah Bunga Putih dan Anggrek Bajing Bunga Kuning. Jenis Anggrek tersebut mudah di jumpai di tepi jalan setapak yang terletak di perbatasan antara TWA Situ Gunung dengan taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Sementara komposisi keanekaragaman faunanya sebanyak 62 jenis satwa liar yang terdiri dari 41 jenis burung (11 jenis dilindungi), dan 21 jenis mamalia (8 jenis dilindungi). Jenis mamalia yang dilindungi di antaranya : Owa (Hylobates moloch), kucing hutan (Felis bengalensis), Anjing Hutan (Cuon alpinus), Trenggiling (Manis Javanica), Landak (Hystrix braychura), Surili (Presbytis comata), Kijang (Muntiacus muntjak) dan Kancil (Tragulus javanicus). Adapun jenis mamalia yang mudah dijumpai adalah Bajing, Monyet ekor panjang, Lutung dan Babi Hutan. Jenis burung yang dilindungi di TWA Situ Gunung adalah : Elang Bondol (Haliastur indus), Alap-alap (Accipiter virgatus), burung Sesep made (Aethopyga eximia), burung Kipas (Riphidura javanica), Cekakak merah (Anthreptes singalensis), burung made Merah (Aethopyga siparaja), burung Cabe (Dicaeum trochileum). Sedang burung-burung yang mudah dijumpai adalah Kutilang. Betet ekor panjang, Prenjak Tuwu, Emprit, Cipoh, Kepondang, Tulung tumpuk dan Ayam hutan.
2.2.1      Analisis vegetasi tumbuhan
            Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan  salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar dan lain-lain.  Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastik karena pengaruh anthropogenik (Setiadi, 1984; Sundarapandian dan Swamy, 2000).
Ada beberapa satuan pengukuran yang digunakan dalam menerangkan suatu populasi ataupun komunitas seperti frekuensi, kepadatan, luas penutupan, dan biomassa. Kepadatan merupakan jumlah individu per unit area atau unit volume. Dalam suatu tempat tidak semuanya merupakan tempat yang layak bagi suatu spesies hewan. Mungkin dari tempat itu hanya sebagian saja yang merupakan habitat yang layak bagi hewan tersebut. Kepadatan mutlak atau kepadatan ekologi merupakan kepadatan yang mendiami suatu bagian tertentu (Soegianto, 1994).
Sampling tumbuhan menentukan permasalahan yang sering kita hadapi  dalam menentukan suatu individu tanaman. Tumbuhan yang berbentuk pohon atau herba. Untuk tanaman yang hidup di dalam kelompok atau bereproduksi secara vegetatif dengan akar di dalam tanah, cara yang umum digunakan adalah menganggap individu-inidividu tersebut terputus-putus. Sedangkan untuk tanaman yang tumbuh dalam bentuk rumpun, maka setiap rumpun dianggap sebagi satu individu.
Untuk kondisi seperti ini, jenis pengukuran yang paling cocok adalah dengan mengukur luas penutupan. Dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu dengan jumlah total sampel. Frekunsi relatif suatu spesies adalah frekuensi dari suatu spesies dibagi dengan jumlah frekuensi dari semua spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Soegianto, 1994).
Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total sepsies yang ada dalam komunitas, dan dengan demikian merupakan pengukuran yang relatif. Dari nilai relatif ini, akan diperoleh sebuah nilai yang merupak INP (Indeks Nilai Penting). Nilai ini digunakan sebagai dasar pemberian nama suatu vegetasi yang diamati. Secara bersama-sama, kelimpahan dan frekuensi sangat penting dalam menentukan struktur komunitas (Michael, 1990).
2.2.2  Diagram profil
Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem. Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan. Keberhasilan pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/penampakan anak pohon (Pacala dkk., 1996).
Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan.
Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan. Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996).
Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif (Ashton dan Hall, 1992).
Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu kanopi yang kontinu atau diskontinu. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral. Istilah kanopi adakalanya sinonim dengan stratum. Kanopi berarti suatu lapisan yang sedikit banyak kontinu dari tajuk-tajuk pohon yang tingginya mendekati sama, misalnya permukaan yang tertutup.
Atap dari hutan kadangkala juga disebut kanopi. Di dalam hutan hujan, permukaan ini dapat dibentuk oleh tajuk-tajuk dari stratum yang paling tinggi saja.
Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya. Ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan itu secara khas menampikan tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan lapisan lainnya yang terdiri dari belukar serta tumbuhan terna diuraikan sebagai berikut :
1. Lapis paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi 30-45 m. pepohonan yang muncuk keluar ini mencuat tinggi di atas sudur hutan, bertajuk lebar, dan ummnya terxebar sedemikan rupa sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambung. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat itu sering berakar agak dangkal dan berbanir.
2. Lapis pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mencuat tadi, ada kalanya disebut juga sebagai tingkat atas, terdiri dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 18-27 m. pepohonan in tumbuh lebih berdekatan dan cenderun membentuk sudur yagn bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar seperti pada pohon yang mencuat.
3. Lapis pepohonan ketiga (tingkat C), yang juga dinamakan tingkat bawah, terdiri dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 8-14 m. pepohonan di sini sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian.
4. Lapisan D, selain dari lapis pepohonan tersebut, terdapat lapis belukar yang terdiri dari spesies dengan ketinggian yang kebanyakan kurang dari 10 m. tampaknya terdapat dua bentuk belukar : yang mempunyai percabangan dekat tanah dan karenanya tak mempunyai sumbu utama; dan yang menyerupai pohon kecil karena mempunyai sumbu utama yang jelas, yang sering dinamakan pohon kecil dan mencakup pohon muda dari spesies pohon yang lebih besar.
5. Yang  terakhir lapisan E (merupakan lantai hutan), yaitu terdapat lapis terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah pepohonan yang lebih besar dari lapisan yang lebih atas, atau spesies terna (Ewusie, 1990).

2.3.      Survey Jenis Fauna
2.3.1.   Burung
Bagian terbesar dari ekosistem terdiri dari kumpulan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama membentuk suatu komonitas dan hewan yang disebut dengan komunitas (Irwan,1997). Suatu komunitas terdiri dari banyak jenis danberbagai macam fluktuasi populasi dan interaksi satu dengan yang lainnya. Komunitas terdiri dari berbagai organisme –organisme dan saling berhubungan pada suatu lingkungan tertentu. Nybakken (1998) mengatakan bahwa komunitas adalah beberapa populasi spesies yang cenderung untuk hidup bersama di dalam berbagai daerah geografis. Komunitas bisa juga dikatakan sebagai asosiasi dari interaksi spesies yang menempati suatu daerah tertentu (Molles, 1999) dan Odum (1993) mengatakan bahwa komunitas adalah kumpulan populasi-populasi apa saja yang hidup dalam daerah tertentu atau habitat fisik yang telah ditentukan.
Komunitas tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur tropik dan pola arus energi yang khas tetapi juga mempunyai kesatuan komposisional dimana terdapat peluang jenis tertentu akan terdapat atau hidup berdampingan. Meskipun demikian, spesies tersebut sebagian besar dapat diganti dalam waktu dan ruang sehingga secara fungsional komunitas yang serupa dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda (Odum, 1993).
Identifikasi spesies burung merupakan perhatian terhadap beberapa kombinasi sifat burung termasuk penampilan tubuh,suara, perilaku dan tempat hidup burung. Tingkat pengenalan burung di lapangan dikelompokkan sebagai berikut:
a.       Dikenal dengan tepat
Ciri-ciri khas atau kombinasinya dapat dikenali secara menyeluruh dan pasti.
b.      Dikenal dengan keraguan
Ciri-ciri yang terlihat adalah khas untuk spesies tertentu walaupun tidak selalu pasti, jenis tersebut memang bisa diterima kehadirannya pada tempat dan waktu tersebut.
c.       Belum dapat dipastikan
Ciri-ciri dikenal tetapi kehadirannya di habitat itu tidak diharapkan sehingga hasil pengamatannya hanya merupakan informasi baru dan kurang meyakinkan karena tidak didukung dengan bukti yang kuat. Hal yang penting dalam identifikasi adalah mencatat dengan rinci dan membuat gambar atau sketsa semua ciri-ciri burung yang dilihat. Selain itu catatan merupakan sarana penting dalam identifikasi lebih lanjut terutama bagi burung-burung yang tidak dapat dikenal langsung di lapangan (MacKinnon, 1993).
Bentuk tubuh dan postur adalah karakteristik penting yang digunakan dalam mengidentifikasi burung. Beberapa ahli dapat mengidentifikasi spesies burung dari bentuk tubuh atau siluet karena karakter ini adalah ciri yang sedikit berubah. Perilaku burung dapat digunakan untuk mengidentifikasi burung melalui cara terbang, berjalan, berenang, dan perilaku lainnya. Habitat dapat digunakan karena beberapa spesies burung hanya dapat hidup pada habitat tertentu. Untuk burung spesies baru atau yang belum dikenal, sebaiknya dibuat sketsa dalam buku catatan. Sketsa tersebut tidak perlu terlalu artistik, yang penting tergambarkan berbagai ciri rinci seperti ukuran, bentuk, panjang paruh, adanya jambul (hiasan pada bagian kepala), atau ciri lain,warna bulu,  panjang sayap dan ekor, warna kulit muka yang tidak berbulu juga warna paruh, mata dan kaki serta berbagai ciri lain yang tidak umum. Catatan tambahan tentang suara, tingkah laku, dan lokasi, juga akan banyak membantu dalam pengenalan selanjutnya (MacKinnon, 1993).
Kekayaan spesies dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Keanekaragaman spesies di suatu wilayah ditentukan oleh berbagai faktor dan mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi,perkembangan dan fisik (Odum, 1993). Keanekaragaman spesies rendah terdapat pada komunitas daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah kering, tanah miskin apalagi bekas kebakaran atau letusan gunung berapi, sedangkan keanekaragaman yang tinggi biasanya terdapat pada lingkungan yang optimum. Keanekaragaman jenis burung di suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor -faktor sebagai berikut:
1.      Ukuran luas habitat. Semakin luas habitatnya cenderung semakin tinggi keanekaragaman spesies burung.
2.      Struktur dan keanekaragaman vegetasi. Di daerah yang keanekaragaman jenis tumbuhannya tinggi maka keanekaragaman spesies hewannya termasuk burung, tinggi pula. Hal ini disebabkan oleh setiap spesies hewan hidupnya tergantung pada sekelompok jenis tumbuhan tertentu.
3.      Keanekaragaman dan tingkat kualitas habitat secara umum di suatu lokasi. Semakin majemuk habitatnya cenderung semakin tinggi keanekaragaman spesies burungnya.
4.      Pengendali ekosistem yang dominan. Keanekaragaman spesies burung cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi.
2.3.2  Primata
Primata adalah mamalia yang menjadi anggota ordo biologi Primates. Di dalam ordo ini termasuk lemur, tarsius, monyet, kera, dan juga manusia. Kata ini berasal dari kata bahasa Latin primates yang berarti "yang pertama, terbaik, mulia". Dari hasil pengamatan di kawasan Taman Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi ditemukan jenis primata sebagai berikut:
            Lutung jawa, dalam bahasa latin disebut Trachypithecus auratus merupakan salah satu jenis lutung asli (endemik) Indonesia. Sebagaimana spesies lutung lainnya, lutung jawa yang bisa disebut juga lutung budeng mempunyai ukuran tubuh yang kecil, sekitar 55 cm, dengan ekor yang panjangnya mencapai 80 cm. Bulu lutung jawa (T. auratus) berwarna hitam dan lutung betina memiliki bulu berwana keperakan di sekitar kelaminnya. Lutung jawa (lutung budeng) muda memiliki bulu yang berwarna oranye. Lutung jawa hidup secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri sekitar 7 – 20 ekor lutung dengan seekor jantan sebagai pemimpin kelompok dan beberapa lutung betina dewasa. Lutung betina hanya melahirkan satu anak dalam setiap masa kehamilan. Beberapa induk betina dalam satu kelompok akan saling membantu dalam mengasuh anaknya, namun sering kali bersifat agresif terhadap induk dari kelompok lain. Lutung jawa merupakan satwa diurnal yang lebih banyak aktif di siang hari terutama di atas pohon. Makanan kegemaran satwa ini antara lain dedaunan, beberapa jenis buah-buahan dan bunga. Terkadang binatang ini juga memakan serangga dan kulit kayu. Lutung jawa (T. auratus) merupakan satwa endemik Indonesia yang hanya bisa dijumpai di pulau Jawa, Bali, Lombok, Palau Sempu dan Nusa Barung. Keberadaan lutung jawa di pulau Lombik diduga karena proses introduksi. Habitat alami lutung jawa (lutung budeng) adalah kawasan hutan dengan berbagai variasi mulai hutan bakau di pesisir pantai, hutan rawa air tawar, hutan dataran rendah, hutan meranggas, hingga hutan dataran tinggi hingga ketinggian mencapai 3.500 mdp. Daerah jelajah lutung jawa mencapai seluas 15 ha.
            Surili Jawa atau Presbytis comata atau Javan Leaf Monkey merupakan lutung endemik Jawa. Lutung yang terkadang disebut Surili saja ini hanya dapat ditemukan di Jawa bagian barat dan tengah. Surili Jawa juga ditetapkan sebagai fauna identitas kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tubuh Surili Jawa ditumbuhi bulu berwarna hitam, kecoklatan atau keabuan untuk bagian kepala hingga punggung. Sedangkan rambut di bagian dagu, dada, perut, lengan bagian dalam, kaki, dan ekor berwarna putih. Kulit pada muka dan telinga berwarna hitam pekat agak kemerahan. Primata yang menjadi fauna identitas kabupaten Bogor ini merupakan hewan herbivora yang menyukai daun muda, kuncup bunga, buah-buahan dan biji-bijian, serta sesekali memakan serangga, jamur dan tanah. Sesekali Suruli Jawa turun ke tanah untuk memakan tanah guna membantu proses pencernaannya. Surili Jawa (Presbytis comata) juga merupakan binatang diurnal (aktif pada siang hari). Sebagian besar aktifitasnya, termasuk tidur, dilakukan di atas pohon (arboreal). Surili Jawa atau Grizzled Leaf Monkey merupakan hewan endemik yang hanya dapat ditemukan di Jawa bagian barat dan tengah. Surili Jawa menempati habitat hutan primer dan sekunder mulai dari hutan pantai, hutan bakau, hutan pegunungan pada ketinggian sekitar 2000 m dpl (Jasin,1992).
2.3.3   Herpetofauna
            Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.
            Amphibi merupakan hewan yang hidup di 2 habitat atau alam, yaitu perairan dan daratan. Herpetofauna yang satu ini memiliki kelembaban kulit yang tinggi dan tidak tertutupi rambut. Kata amphibi sendiri berasal dari kata “amphi” yang berarti ganda dan “bios” yang berarti hidup. Secara asal kata, amphibi didefinisikan sebagai hewan-hewan melata yang dapat hidup di dua alam. Kelas herpetofauna ini dibagi menjadi 3 ordo yang masih ada hingga sekarang, yaitu Caudata (amphibi berekor), Anura (amphibi tidak berekor), Gymnophiona (amphibi tidak bertungkai). Umumnya kelas ini memiliki siklus kehidupan seperti beberapa jenis insekta/serangga yang mengalami metamorfosis.
            Caudata Merupakan ordo amphibia yang memiliki ekor. Jenis ini memiliki tubuh yang panjang, memiliki anggota gerak dan tidak memiliki tympanum (seperti telinga pada manusia). Beberapa species Caudata mempunyai insang dan lainnya paru-paru. Kemudian ada juga yang dapat bernafas menggunakan kulit. Tubuhnya terdiferensiasi antara kepala, tubuh dan ekor. Pada bagaian kepala terdapat mata yang kecil dan pada beberapa jenis, mata mengalami reduksi (Suprianto, 2009). Umumnya ordo ini lebih dikenal sub-ordonya yaitu Salamandroidea atau Salamander. Sebenarnya masih ada 2 sub-ordo lain (Sirenidea dan Cryptobranchoidea), tapi jenis ini yang paling sering ditemukan.
            Anura Merupakan amphibia yang tidak berekor (dewasa). Namun pada siklus hidupnya, ordo Anura atau yang lebih dikenal dengan katak ini memiliki ekor saat pada fase juvenile (muda, berudu/kecebong). Ordo ini sering dijumpai dengan tubuhnya seperti sedang jongkok. Tubuhnya terdiferensiasi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan, dan anggota gerak(2 pasang tungkai=tetrapoda). Kulitnya cenderung basah karena memiliki kelenjar lendir dibawah kulitnya. Anura sendiri sering dibagi menjadi istilah katak dan kodok. Ciri yang paling mencolok adalah tekstur kulitnya, dimana kulit katak lebih halus dari kodok juga bentuk tubuh katak yang lebih ramping daripada kodok. Ordo ini hidup dapat hidup di dua tempat yaitu pepohonan (arboreal) dan daratan yang termasuk kedalamnya sumber air (Jasin, 1992).












BAB III
Metode Penelitian

3.1.        Waktu dan Lokasi Penelitian
             Lokasi penelitian dilakukan di Situ Gunung, Jawa Barat. Pengamatan survey tumbuhan dan survey hewan dilakukan di daerah Curug dan Danau. Pengamatan survey tumbuhan dan survey hewan dilakukan pada tanggal 15-16 November 2013. Lokasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional
3.2.        Alat dan Bahan
              Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah roll meter, klinometer, alat tulis, tabulasi data, pita meter, lux meter, anemometer, soil moisture tester, kompas, botol semprot, sasak, plastik sampel, sarung tangan, binokuler, kamera, buku identifikasi, jam tangan, stopwatchdan cutter.
              Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koran, kardus, polybag, alkohol 70%, aquades, karton, label, tissue.
3.3.       Metode Kerja
3.3.1.    Survey Tumbuhan
3.3.1.1.  Analisis vegetasi (Metode Nested Plot)
Dibuat dua plot bertingkat berbentuk persegi pada lokasi sampling yang telah ditentukan dengan jarak antar plot 20 m. Adapun ukuran plot untuk semai dan tumbuhan bawah (2 x 2 m), pancang (5 x 5 m), tiang (10 x 10 m), dan pohon dewasa (20 x 20 m) sebagaimana Gambar 2. Kemudian dicatat nama jenis (lokal dan ilmiah), keliling pohon, jumlah individu suatu jenis, dan tinggi pohon pada tabulasi data yang tersedia. Diambil sampel tumbuhan yang belum teridentifikasi untuk pembuatan herbarium. Dilakukan pengukuran faktor abiotik pada masing-masing plot. Dilakukan anailisi data: INP, Indeks Shanon-Wiener, dan Eveness.

Semai



 
                       2 m

           
                                               5m

             Pancang

                                                                                       10 m
                                                                                    



                                  Tiang
                          

                                                                                                                                                  20 m                                                                                                               

                                                                           Pohon
Gambar 2 Metode Nested Plot

3.3.1.2.  Diagram Profil
              Diagram profil dibuat dari dua plot pada analisis vegetasi namun berukuran 60 x 10 m, dilakukan di lokasi saat melakukan analisis vegetasi. Diukur jarak horizontal dari titik 0 (pusat) ke masing-masing pohon sebagai dxi. Diukur jarak vertikal dari sumbu x (panjang transect 60 m) ke masing-masing pohon sebagai dyi. Diukur tinggi total masing-masing individu pohon. Diukur tinggi bebas cabang masing-masing pohon. Diukur panjang tajuk (pt). Diukur lebar tajuk (lt). Diukur tebal tajuk (tt). Diukur keliling pohon.
3.3.2.    Survey Hewan
3.3.2.1.  Burung
              Pengamat berjalan sepanjang transek sambil mencatat jenis burung yang teramati. Pengamat mencatat jenis burung pada daftar jenis (maksimum 20 jenis), setelah 20 jenis pencatatan dilakukan pada form daftar jenis baru, begitupun selanutnya. Diambil dokumentasi burung sebagai pelengkap laporan.
3.3.2.2.  Primata
              Metode yang digunakan dalam pengamatan perilaku primata adalah scan sampling. Pengamat mencatat perilaku hewan pada interval waktu 2 menit, selanjtunya pengamat mencatat perilaku primata pada tabulasi data.
3.3.2.3.  Herpetofauna
              Metode yang digunakan pada pengamatan herpetofauna ialah metode transek. Pengamat mengamati pada suatu transek sepanjang 500 m. Pencacatan jenis dengan mengamati kedua sisi pengamat pada transek yang telah ditntukan.
             
3.4.      Analisis Data
3.4.1.   Indeks Niai Penting (INP) Tumbuhan Bawah
Fi =
             Fi =

 
3.4.1.1. Frekuensi Jenis (Fi)
             


Fi  x 100 %
             Fi =

 
3.4.1.2. Frekuensi Relatif Jenis (FR)
                       


Ki =
             Fi =

 
3.4.1.3. Kerapatan Jenis (Ki)
             


KR =  x 100 %
             Fi =

 
3.4.1.4. Kerapatan Relatif Jenis (KR)
             


Di =
             Fi =

 
3.4.1.5. Dominansi Jenis (Di)
             


DR =  x 100 %
             Fi =

 
3.4.1.6. Dominansi Jenis Relatif (DR)
             


3.4.1.7. Indeks Nilai Penting (INP)
INP = FR + KR (untuk semai dan tumbuhan bawah)

 
 




INP = FR + KR + DR (untuk tiang, pancang, dan pohon)
 
3.4.2.   Indeks Niai Penting (INP) Pohon



H’ = -∑ (px Ln pi)

 
3.4.3.   Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
           


3.4.4.   Kekayaan, Kesamaan, dan Dominansi Jenis Burung
3.4.4.1. Indeks Dominansi Jenis (Indeks Simpson)
λ = ∑ pi2
 
 



Keterangan      : λ = Indeks Simpson
pi = Kelimpahan Jenis
D =
 
3.4.4.2. Indeks Kekayaan Jenis

  
           
Keterangan      : D = Indeks Margalef
                                      S = Jumlah Seluruh Jenis
                                      N = Jumlah Seluruh Individu
IS =
 
3.4.4.3. Indeks Kesamaan Jenis

           
            Keterangan      : IS = Indeks Sorensen
                                    A = Jumlah Jenis di Lokasi a
                                    B = Jumlah Jenis di Lokasi b
                                    C = Jumlah Jenis di Lokasi c

3.4.5.   Frekuensi Perilaku Primata
% aktivitas = (A/B) X 100 %
 
3.4.5.1. Persentase aktivitas
           


            Keterangan      : A = Rata-Rata Aktivitas yang Diamati Dalam Perlakuan
B = Jumlah Seluruh Aktivitas yang Diamati
D =
 
3.4.6.   Kekayaan Jenis Herpetofauna
           
  

            Keterangan      : D = Indeks Margalef
S = Jumlah Seluruh Jenis
N = Jumlah Seluruh Individu




















BAB IV
Hasil dan Pembahasan


4.1.      Komposisi Jenis Tumbuhan bawah
Hasil Pengamatan yang dilakukan terhadap komposisi dan keanekaragaman jenis Tumbuhan bawah yang ada di lokasi Curug Sawer dan Danau Situ Gunung, Sukabumi jawa barat. Pengamatan ini dilakukan pada hari jum’at tanggal 15 November 2013 dan mendapatkan data keanekaragaman jenis Tumbuhan bawah sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram Perbandingan Jenis Tumbuhan Bawah

Berdasarkan data diagram perbandingan jenis tumbuhan bawah diatas distribusi atau sebaran spesies sangat tergantung pada diversity (keragaman), abundance (kelimpahan), dan species richness (kekayaan jenis). Pengamatan tumbuhan bawah kali ini menggunakan indeks yaitu suatu nilai tunggal yang menggambarkan suatu keadaan secara sederhana diantaranya Margalef’s index (D), Shannon-Wiener’s Index (H’), Evenness (E) dan Simpson’s index/ indeks dominansi (ʎ).
Nilai indeks margalef pada diagram diatas menunjukan bahwa keanekaragaman total individu seluruh spesies pada lokasi daerah curug jumlah lebih rendah dari lokasi danau. Pada lokasi curug Nilai indeks margalef yaitu 3,45 sedangkan pada lokasi danau yaitu 4,23. Hal ini menunjukan bahwa tingkat jenis tumbuhan bawah lebih tinggi pada lokasi danau karena tidak ditutupi oleh kanopi pohon yang rapat sehingga banyak terdapat jenis spesies tumbuhan bawah.
Kehadiran vegetasi pada suatu pandangan akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.
Sebagai contoh vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi besarnya tergantung struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi daerah tersebut (Syafei,1990). Keanekaragamna jenis tumbuhan bawah berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’) pada diagram diatas pada lokasi curug dan danau menunjukan tingkat keanekaragaman yang sedang pada suatu kawasan Situ Gunung, dengan nilai indeks berkisar antara 2,26 dan 2,45. Semakin tinggi nilai H’ mengindikasikan semakin tinggi jumlah species dan semakin tinggi kelimpahan relatifnya.
Keanekaragaman jenis tumbuhan menunjukkan beranekaragam atau banyak jenis pada kelompok flora baik dari tingkatan tumbuhan bawah, semai, pancang tiang dan pohon. Keanekaragaman jenis dalam suatu kawasan dinyatakan rendah apabila <1, sedang 1 – 3 dan tinggi >3. Dominansi merupakan kondisi dimana suatu kawasan hutan banyak ditumbuhi jenis-jenis tertentu sehingga jenis yang lain relatif kecil kelimpahannya (syafei,1990).
Untuk melihat kemerataan jenis dapat kita lihat dengan indeks Evenness (E) pada daerah curug 0,77 dan daerah danau 0,74 yang menunjukan bahwa pada lokasi curug dan danau kemerataan jenisnya tinggi. Karena nilai indeks kemerataan jenisnya mendekati atau sama dengan 1. Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total spesies yang ada dalam komunitas, dan dengan demikian merupakan pengukuran yang relatif.
Dari nilai relatif ini, akan diperoleh sebuah nilai yang merupak INP (Indeks Nilai Penting). Nilai ini digunakan sebagai dasar pemberian nama suatu vegetasi yang diamati. Secara bersama-sama, kelimpahan dan frekuensi sangat penting dalam menentukan struktur komunitas (Michael, 1990). Nilai indeks dominansi pada daerah curug yaitu 0,16 dan pada daerah danau 0,14 untuk pemantauan dominasi jenis tumbuhan bawah nilainya berbanding terbalik dengan nilai kelimpahan dan keanekaragaman jenis artinya semakin kecil nilai dominasinya maka semakin bagus kenekaragaman jenisnya begitu juga sebaliknya bila nilai dominasinya besar maka kelimpahan dan keanekaragamanya kecil / sedikit (syafei,1990).
Hal ini sesuai dengan nilai indeks keanekaragaman jenis pada daerah danau yang lebih tinggi dari daerah curug karena perbedaan tingkat daerah yang kerapatan kanopi di daerah curug lebih rapat dibandingkan daerah danau yang menyebabkan jenis tumbuhan bawah lebih sedikit tumbuh pada daerah yang kerapatan kanopinya tinggi karena cahaya matahari tidak langsung jatuh ketanah.

4.2.      Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Pohon
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan, frekuensi, dan dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi.berikut dibawah ini merupakan tabel hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) pohon Taman Wisata Alam Situ Gunung di daerah danau dan curug,



Lokasi
Tingkat pertumbuhan
Jenis
INP (%)
Danau
Pohon
Agathis sp
178,60%
Pohon
Peristrophe hyssopifolia
37,42%
Pohon
Pinus merkusii
36,28%
Tiang
Leucaena sp
105,05%
Tiang
Homalants populneus
52,58%
Tiang
Araliaceae
28,22%
Pancang
Leucaena sp
53,15%
Pancang
Caliandra calotthyrsus
46,64%
Pancang
Mimosae
26,27%
Curug
Pohon
Agathis sp
147,78%
Pohon
Cyathea sp
43,39%
Pohon
Leucaena sp
41,10%
Tiang
Leucaena sp
107,04%
Tiang
Pinangan javana
64,06%
Tiang
Palmaceae
49,81%
Pancang
Leucaena sp
118,42%
Pancang
Pinangan javana
53,70%
Pancang
Hibiscus tiliaceus
27,89%
Tabel 1. INP Pohon di Danau dan Curug

Nilai INP tertinggi unuk pohon di danau dan curug ditemukan pada jenis Agathis sp yaitu sebesar 178,60% dan 147,78 %. Nilai INP tertinggi unuk tiang dan pancang di danau dan curug ditemukan pada jenis Leucaena sp. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian. Jenis Agathis sp dan Leucaena sp merupakan dua jenis yang mendominasi daearah Danau dan Curug karena memiliki INP tertinggi. Kemampuan keduanya dalam menempati sebagian besar lokasi penelitian menunjukan bahwa keduanya memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian. Jenis Agathis sp dan Leucaena sp yang memiliki diameter beatang besar diperkirakan salah satu yang lebih dahulu tumbuh di lokasi penelitian setelah letusan dahsyat gunung Gede-Pangarango yang terakhir pada tahun 1886. Letusan tersebut mengakibatkan sebagian besar kawasan gunung Gede-Pangarango dan sekitarnya mati hangus dan tidak menyisahkan propagul tumbuhan yang hidup sebelumnya, sehingga proses suksesi yang terjadi merupakan suksesi primer. Fakta yang mendukung asumsi ini adalah bahwa Agathis sp dan Leucaena sp merupakan jenis pohon yang dominan di sekitar lokasi dan memungkinkan untuk mengalami dispersal. Menurut Whitmore dalam Lugo dan Lowe (1995) struktur dan komposisi hutan sangat dipengaruhi gangguan baik yang bersifat alami maupun anthropogenik. Menurut bukti arkeologis, dampak gangguan masih dapat diamati dari peristiwa 200 tahun sebelumnya.
Letusan dahsyat gunung Gede-Pangarango pada tahun 1886 telah mengakibatkan sebagian besar vegetasi di gunung Gede-Pangarango dan sekitarnya mati sehingga proses suksesi yang terjadi merupakan suksesi primer . Setelah tahun 1886 masih terjadi letusan-letusan kecil sampai dengan tahun 1957 tetapi hanya menyemburkan debu vulkanik yang justru menyuburkan tanah. Jenis Agathis sp dan Leucaena memiliki rata-rata diameter batang dan tinggi pohon yang lebih besar dibandingkan dengan pohon lainnya sehingga dianggap lebih dahulu tumbuh di lokasi.
                Jenis yang dominan pada tingkat pohon yaitu: Agathis sp, Peristrophe hyssopifolia, Pinus merkusii, Cyathea sp,  dan Leucaena sp. Jenis yang dominan pada tingkat tiang yaitu: Leucaena sp, Homalants populneus, Araliaceae, Pinangan javana, Palmaceae. Jenis yang dominan pada tingkat pancang yaitu: Leucaena sp , Caliandra calotthyrsus, Mimosae, Pinangan javana, dan Hibiscus tiliaceus. Berbedanya jenis-jenis yang dominan disebabkan karena adanya persaingan yang cukup kuat, baik dari segi nutrisi, air dan perolehan cahaya.
            Terlihat bahwa jenis-jenis yang dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyu (2002) yang menyatakan bahwa adanya variasi-variasi dari jenis-jenis yang dominan dan ko-dominan pada setiap tingkat pertumbuhan memberikan pengertian bahwa jenis dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain. Begitu juga dengan Tandju (1988) yang mengemukakan bahwa jenis yang mempunyai jenis INP tertinggi dan seterusnya hingga terendah menunjukkan urutan peranan atau penyesuaian jenis dalam persaingan. Menurut Sutisna (1981), suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP lebih dari 10% untuk tingkat semai dan pancang serta lebih dari 15%  untuk tingkat tiang dan pohon.
            Dominansi jenis-jenis yang ada di atas dikarenakan jenis-jenis tersebut ditemukan dalam jumlah banyak (kerapatannya tinggi), tersebar merata di seluruh areal, dan untuk tingkat tiang dan pohon yang memiliki diameter yang besar. Selain itu jenis-jenis dominan yang ada berhasil memanfaatkan sebagian sumber daya yang ada daripada jenis-jenis yang lainnya. Hali ini dijelaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1998) bahwa pertumbuha mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan dominansinya

4.3.      Kekayaan dan Komposisi Jenis Burung
Tabel 2. Indeks Kekayaan Jenis
Lokasi
Waktu Pengamatan
Indeks Kekayaan Jenis
Danau
Pagi
2,16
Sore
3,67
Curug
Pagi
5,41
Sore
3,81

Tabel 3.  Kesamaan Jenis Burung
Lokasi
Indeks Kesamaan Jenis
Danau
0,44
Curug
0,36

Tabel 4. Kekayaan dan Kesamaan Jenis Burung
Lokasi
Indeks Kekayaan Jenis
Indeks Kesamaan Jenis
Danau
3,67

0,44
Curug
5,96
0,36

Berdasarkan hasil perhitungan indeks margalef, maka dapat diketahui di curug lebih kekayaannya jenis burung lebih tinggi dibandingkan dengan di danau dengan nilai kekayaan jenis 5,96 di curug sebagaimana dalam Tabel 4. Hal tersebut terlihat dari komposisi jenis pohon di curug lebih tinggi dibandingkan di danau. Struktur vegetasi pada masing-masing lokasi pengamatan juga berbeda, curug dengan struktur vegetasi yang lebih rapat dibandingkan danau. Kedua hai tersebut sebanding dengan sumber daya pakan dan ketersediaan habitat pada daerah tersebut. Kemudian kekayaan jenis di curug pada pagi hari lebih tinggi dengan nilai 5,41 daripada saat sore hari. Hal ini diduga karena faktor fisik pada daerah curug disore hari lebih mendukung keluarnya magsa bagi burung tersebut, sebagaimana diketahui karena curug sawer merupakan salah satu objek wisata Taman Wisata Alam Situ Gunung, maka di duga kehadiran manusia juga turut serta mempengaruhi kekayaan jenis burung tersebut. Sebaliknya di daerah danau lebih banyak jenis burung yang suka mencari makan disore hari dibandingkan pagi hari. Hal ini ditandai dengan kekayaan jenis di danau sore hari dengan nilai 3,67 lebih tinggi dibandingkan dengan pagi hari ditempat yang sama. Hal ini diduga karena faktor fisik suhu 21°C  di danau yang lebih mendukung dipagi hari yang cukup hangat untuk burung-burung keluar beraktivitas dibandingkan mungkin disore hari yang lebih dingin.
Apabila dilihat dari jumlah jenis burung yang didapat di kawasan Curug sebanyak 19 jenis dan Danau Situ Gunung sebanyak 17 jenis, tidak tampak perbedaan yang mencolok. Jumlah jenis burung hanya berbeda 2 jenis yang bisa dikatakan bahwa kedua lokasi ini seragam. Tetapi jika dilihat dari jenis-jenis burung yang hanya ditemui di suatu kawasan, maka tingkat kesamaan jenis burung pagi dan sore rendah. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan indeks kesamaan keanekaragaman yang hasilnya adalah 36%.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisik dari masing-masing kawasan seperti suhu di danau 21°C yang berbeda dengan di curug. Kawasan Danau situ gunung memiliki jenis tumbuhan dominan yang berbeda dengan kawasan Curung. Penyebaran spesies pada penelitian ini ditinjau dari karakteristik spesies yang ditemukan perbedaan berdasarkan tipe habitatnya. Jenis burung yang ditemukan umumnya merupakan tipe burung arboreal, dimana burung-burung arboreal relatif lebih umum pada area dengan vegetasi berupa tanaman berhabitus pohon. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesamaan komunitas dapat berupa faktor biotik maupun abiotik. Salah satu contoh faktor biotik yang dapat mempengaruhi keberadaan burung adalah jenis vegetasi, sedangkan faktor abiotik yang mungkin mempengaruhi keberadaan suatu populasi burung adalah ketinggian. Habitat hutan Curug indeks kesamaan komunitasnya lebih tinggi dibandingkan Danau Burung-burung arboreal memiliki struktur morfologi yang sesuai untuk hidup pada tajuk pohon sebagai contoh adalah tipe kaki berupa kaki petengger. Burung-burung arboreal menggunakan pohon sebagai tempat untuk bertengger bersarang serta melakukan aktivitas makan (Isaccha et al.2005). Pada area pengamatan pesisir pantai vegetasi didominasi tanaman berhabitus semak kondisi ini relatif tidak sesuai bagi kehidupan burung-burung dengan perilaku arboreal, oleh karena itu burung-burung arborealcenderung lebih sedikit ditemui di area Curug.

4.4.            Perilaku Harian Lutung
Lutung jawa mulai beraktivitas dengan bangun dari tidurnya sekitar 05.10 WIB, kemudian sekitar pukul 05.30 WIB berpindah dan makan di pohon tempat tidur atau pohon sumber pakan disekitar pohon tempat tidur. waktu mulai beraktivitas ini tidak tetap,mengikuti perubahan atau mengikuti pergeseran waktu terbit matahari. akhir aktivitas harian ditandai dengan aktivitas berpindah memasuki pohon tempat tidur. setelah memasuki pohon tempat tidur ini, umumnya lutung tidak beraktivitas lagi, namun beberapa individu masih melakukan aktivitas makan dan mencari posisi tidur. Lutung memasuki pohon tempat tidur pukul 17.45 WIB dan mulai tidur sekitar pukul 18.05 WIB.
Gambar 2. Histogram Presentase Aktivitas  Lutung di Curug
Gambar 3. Presentase Aktivitas Harian Lutung di Danau
Penggunaan waktu untuk aktivitas makan pada lutung dari gambar tersebut, terlihat aktivitas makan yang terbesar dilakukan lutung jawa pada pagi hari. Hal tersebut menyatakan bahwa Suplai energi yang besar ini diperlukan lutung untuk menjaga metabolisme tubuh selama istirahat panjang (tidur malam) dan untuk beraktivitas berpindah pada hari berikutnya.
Penggunaan waktu aktivitas bergerak lebih besar pada waktu sore hari. Namun seharusnya pergerakan ini tidak sesuai dengan sumber menurut Nursal Ikbal. Dimana aktivitas lutung  bergerak pada pagi hari ditunjukkan untuk mendapatkan pohon sumber pakan, sedangkan siang hari untuk mendapatkan pohon tempat beristirahat, sedangkan pada sore hari berfungsi untuk mendapatkan pohon sumber pakan dan memasuki pohon tempat tidur.
Penggunaan waktu aktivitas bermain berdasarkan presentase tersebut lebih besar pada waktu pagi hari. Hal ini menunjukan aktivitas bermain yang dimaksud melibatkan interaksi antara dua individu atau lebih. Aktivitas sosial bermain terlihat pada anak dan remaja, tapi tidak terlihat pada individu jantan dan betina dewasa,serta pada bayi.Pada bayi, tidak ada interkasi aktivitas bermain dengan individu lain, karena kemampuan lokomosi usia bayi belum memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas berlari dan melompat, aktivitas yang umum terlihat pada kativitas bermain. Aktivitas bermain pada bayi berfungsi untuk melatih kemampuan lokomosinya. Penggunaan waktu aktivitas bermain pada anak lebih besar daripada remaja. Hal ini wajar karena individu remaja akan segera beralih menjadi individu dewasa, dengan demikian terjadi penyesuaian perilaku social sesuai dengan yang dilakukan oleh individu dewasa.
Penggunaan waktu untuk aktivitas beristirahat terbesar terjadi pada periode siang atau sore hari. Dapat dikatakan bahwa aktivitas ini paling menonjol daripada aktivitas lainnya. Besarnya penggunaan untuk aktivitas istirahat di periode sore berhubungan erat dengan kondisi cuaca. Suhu udara (lingkungan) tertinggi terjadi pada pukul 14.00 WIB (koesmaryono dan Handoko 1988). Pada wakti ini, aktivitas istirahat merupakan respon yang paling tepat untuk menjaga keseimbangan panas dan air dalam tubuh lutung.
Aktivitas Grooming yang terbesar terdapat pada waktu sore hari. Hal ini menunjukan bahwa lutung lebih suka melakukan menggunakan aktivitas istirahatnya untuk bermain ataupun bergrooming. aktivitas tersebut sering dilakukan oleh kelompokan lutung demi melakukan interaksi antar sesamanya.
Berdasarkan presentase tersebut dapat diketahui bahwa aktivitas yang lebih besar terdapat pada waktu pagi hari. Aktivitas tersebut mencakup aktivitas makan, aktivitas Grooming, aktivitas  bermain, aktivitas sosial, aktivitas bersuara. Namun sebaliknya pada waktu sore terdapat aktivitas dari lutung yang terbesar dengan melakukan aktivitas bergerak. Hal tersebut menunjukan bahwa waktu pagi hari dimana lutung dapat melakukan segala aktivitasnya di banding pada waktu sore hari. 
Gambar 4. Diagram Durasi Aktivitas Harian Lutung di Danau
Berdasarkan Diagram diatas, bahwa durasi yang lebih banyak melakukan aktivitas pada areal danau situ gunung ialah Bergerak sebesar 40,5 %, dan yang paling kecil durasi terhadap aktivitas bermain dan bersosisal yaitu 2,7 %.
Gambar 5. Diagram Durasi Aktivitas Harian Lutung di Curug
Berdasarkan Diagram diatas, bahwa durasi yang lebih banyak melakukan aktivitas pada areal Curug situ gunung ialah Bergerak sebesar 41,2 %, dan yang paling kecil durasi terhadap aktivitas Makan dan bersosisal yaitu 11,8 %.

4.5.      Kekayaan Jenis Herpetofauna
Hasil pengamatan keanekaragaman jenis herpetofauna di danau Situ Gunung, didapatkan hasil seperti terlihat di tabel hasil di bawah bahwa nilai Indeks Kekayaan Jenis (D) adalah 1.38, nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Weiner (H') adalah 1.27, nilai Indeks Dominansi  Jenis (λ) adalah 0,36, dan nilai Indeks Kemerataan Jenis (E) adalah 0,79.

Tabel 5. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Danau Situ Gunung
Indeks
Nilai Indeks
D
1.38
H'
1.27
Λ
0.36
E
0.79







Hasil pengamatan dan analisis secara keseluruhan yang dilakukan di lokasi danau Situ Gunung menunjukkan beberapa hal, antara lain kekayaan jenis Herpetofauna di lokasi tersebut bila dilihat dari nilai indeksnya yaitu 1,38 dapat dikatakan terbilang tinggi, keanekaragaman jenis Herpetofauna pada lokasi tersebut yang menunjukkan nilai 1,27 dapat dikatakan bahwa tingkat kelimpahan jenisnya terbilang sedang yang berarti melimpah (1 ≤ H’ ≤ 3), dominansi jenis (λ) Herpetofauna di lokasi tersebut lebih didominansi oleh Bufo sp. yang mana ditunjukkan dengan nilai 0,03, dominansi Rana sp. adalah 0,31, dominansi Fejevarya limnocharis adalah 0,01, dominansi Mabouya sp. adalah 0,01, dominansi Rachoporus sp. adalah 0,00, serta kemerataan jenis Herpetofauna di lokasi tersebut terbilang merata, hal ini dapat dilihat dari nilai analisis yang didapat yaitu 0,79, dimana nilai tersebut mendekati 1.
Frekuensi jenis yang sering ditemukan adalah Rana sp. dan dilanjutkan dengan Bufo sp. . Di lokasi penelitian jenis Rana sp. ditemukan hamper di semua tipe habitat. Jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Fejevarya limnocharis, Mabouya sp., dan Racophorus sp.
Jenis-jenis Rana chalconota merupakan jenis yang ditemukan di semua tipe habitat yang diamati. Rana chalconota memiliki selaput kaki yang penuh, ini menandakan jenis ini lebih menyukai habitat akuatik. Jenis ini dapat tinggal di habitat yang terdapat air, bahkan dari dataran rendah sampai ketinggian lebih dari 1200 mdpl (Iskandar 1998). Rana erythraea dan Rana nicobariensis biasa berasosiasi dengan Rana chalconota di habitat akuatik danau. Ketiga jenis ini dapat dijumpai bertengger diantara rerumputan yang ada di sisi danau. Rana hosii lebih menyukai sungai daripada danau. Rana hosii biasanya selalu berhubungan dengan sungai (Iskandar 1998) dan tinggal di sungai yang jernih dan sungai besar (Inger 2005). Rana picturata ditemukan di sepanjang sungai yang berarus sedang di hutan primer dan hutan sekunder (Mistar 2003). Jenis ini biasa bertengger di ranting-ranting sisi sungai ± 20 sampai 50 cm dari permukaan air.



















BAB V
Kesimpulan
·         Hasil Pengamatan yang dilakukan terhadap komposisi dan keanekaragaman jenis Tumbuhan bawah yang ada di lokasi Curug Sawer dan Danau Situ Gunung, Sukabumi jawa barat. Nilai indeks margalef menunjukan bahwa keanekaragaman total individu seluruh spesies pada lokasi daerah curug jumlah lebih rendah dari lokasi danau. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’) lokasi curug dan danau menunjukan tingkat keanekaragaman yang sedang pada suatu kawasan Situ Gunung, dengan nilai indeks berkisar antara 2,26 dan 2,45 dan pada lokasi curug dan danau kemerataan jenisnya tinggi.
·         Terdapat 3 jenis pohon di danau dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Agathis sp (178,60%), Peristrophe hyssopifolia (37,42%), dan Pinus merkusii (36,28%), sedangkan 3 jenis pohon di curug dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Agathis sp (147,78%), Cyathea sp (43,39%), dan Leucaena sp (41,10%). Terdapat 3 jenis tiang di danau dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Leucaena sp (105,05%), Homalants populneus (52,58%), Araliaceae (28,22%), sedangkan 3 jenis tiang di curug dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Leucaena sp (107,04%), Pinangan javana (64,06%), dan Palmaceae (49,81). Terdapat 3 jenis pancang di danau dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Leucaena sp (53,15%), Caliandra calotthyrsus (46,64%), dan Mimosae (26,27%), sedangkan 3 jenis pancang di curug dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Leucaena sp (118,42%), Pinangan javana (53,70%), dan Hibiscus tiliaceus (27,89%).
·         Untuk jenis burung Taman Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi di daerah curug lebih kaya jenis burungnya dan lebih rendah kesamaan jenisnya daibandingkan dengan daerah danau. Selain itu kekayaannya jenis burung pada pagi hari di daerah curug lebih rendah dibandingkan pada sore hari, sementara di daerah danau sebaliknya pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan pada sore hari.
·         Waktu aktif kelompok lutung berdasarkan presentase di areal situ gunung dan curug sawer yaitu lebih sering beraktivitas pada pagi hari. aktivitas  bergerak sangat menonjol di sore hari pada kedua areal situ gunung maupun curug sawer. Durasi aktivitas merupakan interval waktu saat pengamatan primata di areal curug dan dan danau untuk mencatat prilaku hariannya. Berdasarkan Diagram tersebut Durasi yang paling menonjol ialah waktu bergerak.
·         Hasil pengamatan dan analisis secara keseluruhan menunjukkan bahwa lokasi di sekitar Danau Situ Gunung merupakan habitat yang sesuai bagi beberapa spesies kelompok herpetofauna. Kondisi vegetasi mulai tingkat semai sampai pohon di sekitar lokasi tersebut juga sangat mendukung keberadaan Amphibia khususnya Bufo.








Daftar Pustaka

Arumasari. 1989. Komunitas Burung Pada Berbagai Habitat di Kampus UI, Depok. Jakarta: Skripsi Sarjana Biologi FMIPA Universitas Indonesia

Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp forests of north-western Borneo. Journal of Ecology.

Dombois and Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley Sons

Ewusie, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Greigh-Smith. 1983. Quantitative Plant Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publication

Halle. 1978. Tropical Trees and Forest, an Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin- Heidelberg. Newyork.

Heddy. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: CV Rajawali

Irwan. 1997. Tatanan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: CIDES.     

Jasin, M. 1992. Zoologi Vertebrata untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Sinar Wijaya
Kartawinata, K.1984. Pengantar Ekologi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Koermaryono,Y. dan Handoko. 1998. Klimatologi dasar: Bahan pengajaran. Jurusan Geofisika dan             Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor
Lugo, A.E. and C. Lowe. 1995. Tropical Forest: Management and Ecology. New York. Springer-Verlag.

MacKinnon, J. and K. Philipps. 1993. A Field Guide to The Birds of Borneo, Sumatera, Java and Bali. Oxford University Press. Oxford, New York, Tokyo.

Michael, M. 1992. Ekologi Umum. Jakarta: Universitas Indonesia

Molles, Manuel C, Jr. 1999. Ecology, Concept and Application. McGrawHill Company Inc: New York
Nursal, wim ikbal.2001.Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di pos           Selabintana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. skripsi jurusan Konservasi           Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nybakken JW. 1998. Biologi Laut; Suatu pendekatan Ekologis.Jakarta: PT. Gramedia

Odum, E, P. Terjemahan Tjahjono Samingan. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Onrizal. 2008. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E.Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph.

Rombang WM dan Rudyanto. 1999. Daerah Penting Bagi Burung Jawa dan Bali. Bogor: PKA/Birdlife International-Indonesia Programme

Rusmendro H. 2004. Bahan Kuliah Ornithology. Jakarta: Fakultas Biologi Universitas Nasional

Simanung. 2009. Analisis Vegetasi. http://bpkaeknauli.org/index Diakses pada 12 Desember 2013.

Setiadi, D. 1984. Inventarisasi Vegetasi Tumbuhan Bawah dalam Hubungannya dengan Pendugaan Sifat Habitat Bonita Tanah di Daerah Hutan Jati Cikampek, KPH Purwakarta, Jawa Barat. Bogor: Bagian Ekologi, Departemen Botani, Fakultas Pertanian IPB

Soegianto, A., 1994. Ekologi Kuantitatif. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional

Soerianegara, I. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor : Bogor

Sundarapandian, SM. and P.S. Swamy. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. Journal of Tropical Forest Science 12 (1):104-123. 
Sutisna, U. 1981. Komposisi Jenis Pohon Hutan Bekas Tebangan di Batu Licin Kalimantan Selatan: Deskripsi dan Analisa. Laporan No. 382. Balai Penelitian Hutan Bogor

Syafei, 1990. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Umar, M. R., 2013. Ekologi Umum Dalam Praltikum. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Tandju, H.A. 1988. Struktur dan Komposisi Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Ketinggian Hutan Montana di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Skripsi pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipubliasikan

Wahyu, A. 2002. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan di Hutan Alam Gunung Karang, Pandeglalng, Banten. Skripsi pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan


Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar