LAPORAN FIELDTRIP
EKOLOGI DASAR
Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis Hewan di Situ
Gunung, Sukabumi
Dosen : Mardiansyah, M.Si
Dina Anggraini, S.Si
Kelompok 4
Ade
Puji Setyawati (1112095000025)
Ida
Farida (1112095000010)
Laeli Dienul Zahra (1112095000023)
Moh
Rifqi Al Author (1112095000030)
Zhafira
Amila Haqqa (1112095000033)
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Kondisi ini memberikan
peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Beragam sumber daya alam yang ada dapat
menjadi modal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kabupaten
Sukabumi berpotensi cukup besar untuk dikelola menjadi daerah tujuan wisata
karena terdapat beragam sumber daya alam menarik di dalamnya. Posisi wilayahnya
yang berada di dataran tinggi memberikan nilai tambah untuk menghasilkan
suasana sejuk yang alami. Selain itu, akses transportasi terhadap tempat wisata
relatif mudah dijangkau. Salah satu obyek wisata di daerah Sukabumi yang potensial
menarik perhatian wisatawan domestik adalah Taman Wisata Alam Situ Gunung.
Taman
Wisata Alam (TWA) Situ Gunung merupakan suatu tempat wisata yang menawarkan
objek rekreasi dan daya tarik yang beragam seperti panorama alam yang indah,
danau atau situ, air terjun, flora dan fauna serta sejuknya udara pegunungan.
Objek rekreasi yang terdapat di TWA Situ Gunung tersebut tergolong pada
sumberdaya yang bersifat barang publik dimana konsumsi yang dilakukan seseorang
terhadapnya, tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang tersebut.
Selain sebagai tempat wisata, kawasan Situ Gunung juga kaya akan sumber daya
alam yaitu tumbuhan, hewan, sumber daya air tawar, dll. Informasi mengenai
struktur vegetasi dan komposisi jenis hewan merupakan data dasar untuk
mengetahui kondisi suatu habitat. Selain itu, data terkini mengenai struktur
dan komposisi jenis hewan di suatu kawasan juga merupakan informasi yang
penting bagi pengelola kawasan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
pengelolaan hutan. Oleh karena itu,
penelitian mengenai struktur vegetasi dan komposisi jenis hewan dilakukan di
Situ Gunung untuk mengetahui kondisi terkini sumber daya alam di daerah
tersebut.
1.2 Tujuan
·
Mengetahui struktur dan
stratifikasi vegetasi hutan.
·
Mempelajari
dan mengetahui Komposisi Jenis Tumbuhan bawah dan Pohon pada pengamatan
Analisis Vegetasi
·
Mengetahui
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Pohon
·
Mengetahui
Indeks Nilai Penting vegetasi di Taman Wisata Alam Situ Gunung.
·
Mengidentifikasi
jenis burung yang ditemukan di Curug dan Danau Situ Gunung, Sukabumi
·
Mengetahui
Kekayaan dan Komposisi Jenis Burung serta indeks kesamaan jenis burung di Taman
Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi
·
Mengamati
dan Mengetahui Perilaku Harian Lutung di Curug dan Danau Situ Gunung, Sukabumi
·
Mengetahui
Kekayaan Jenis Herpetofauna yang ditemukan di Danau Situ Gunung, Sukabumi
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Penjelasan mengenai Situ Gunung
Wisata alam Situ Gunung terletak di kaki gunung
Gede, dan merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Secara administratif pemerintahan masuk dalam wilayah Desa
Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Situ Gunung adalah
danau yang dikelilingi oleh hutan alam pegunungan dan hutan tanaman Damar. Situ
Gunung ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor : 461/Kpts/Um/11/1975 tanggal 27 Nopember 1975 seluas
100 Ha. Air danau Situ Gunung berasal dari sumber mata air yang terkenal
sebagai Curug Cimanaracun. Tempatnya tidak jauh dari Situ Gunung. Selain Curug
Cimanaracun terdapat pula Curug Sawer yang berjarak kurang lebih 2,5 Km. Secara
astronomis terletak antara 106 54'37'-106 55'30' Bujur Timur 06 39'40'-06
41'12'. Lintang Selatan. Situ Gunung terletak di kaki Gunung Pangrango
pada ketinggian antara 950-1.036 meter dari permukaan laut. Keadaan
topografinya sebagian kecil datar dan sebagian besar bergelombang sampai
berbukit. dengan curah hujan berkisar antara 1.611-4.311 mm per tahun dengan
106-187 hari hujan per tahun. Suhu udara berkisar 160C ‘ 280C dan kelembaban
rata-rata 84%.
2.2. Struktur Vegetasi Dan Komposisi Jenis
fauna
Kawasan Situ Gunung mempunyai
struktur vegetasi dengan keanekaragaman flora, diantaranya adalah : Pulpa (Schima
walichii), Rasamala (Altingia Excelsa), Damar (Agathis sp.),
Saninten (Castanopsis argentea), Hamirung (Vernonea arborea),
Gelam (Eugeunia fastigiata), Kisireum (Cleistocalyx operculata),
Lemo (Litsea subeba), Beleketebe (Sloamea sigum), Suren (Toona
sureni), Riung Anak (Castanopsis javanica), Walen (Picus Ribes),
Merang (Hibiscus surattensis), Kipanggung (Trevesia sondaica),
Kiputat (Placchonia valida), Karembi (Homolanthus populnea),
Manggong (Macaranga rizoides). Selain jenis-jenis tersebut di atas,
terdapat juga jenis Anggrek yang dilindungi, diantaranya yaitu : Anggrek Tanah
Bunga Merah, Anggrek Tanah Bunga Putih dan Anggrek Bajing Bunga Kuning. Jenis
Anggrek tersebut mudah di jumpai di tepi jalan setapak yang terletak di
perbatasan antara TWA Situ Gunung dengan taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Sementara komposisi keanekaragaman faunanya sebanyak
62 jenis satwa liar yang terdiri dari 41 jenis burung (11 jenis dilindungi),
dan 21 jenis mamalia (8 jenis dilindungi). Jenis mamalia yang dilindungi di
antaranya : Owa (Hylobates moloch),
kucing hutan (Felis bengalensis),
Anjing Hutan (Cuon alpinus),
Trenggiling (Manis Javanica), Landak
(Hystrix braychura), Surili (Presbytis comata), Kijang (Muntiacus muntjak) dan
Kancil (Tragulus javanicus). Adapun
jenis mamalia yang mudah dijumpai adalah Bajing, Monyet ekor panjang, Lutung
dan Babi Hutan. Jenis burung yang dilindungi di TWA Situ Gunung adalah : Elang
Bondol (Haliastur indus), Alap-alap (Accipiter
virgatus), burung Sesep made (Aethopyga
eximia), burung Kipas (Riphidura
javanica), Cekakak merah (Anthreptes
singalensis), burung made Merah (Aethopyga siparaja), burung Cabe (Dicaeum
trochileum). Sedang burung-burung yang mudah dijumpai adalah Kutilang.
Betet ekor panjang, Prenjak Tuwu, Emprit, Cipoh, Kepondang, Tulung tumpuk dan
Ayam hutan.
2.2.1 Analisis vegetasi tumbuhan
Vegetasi atau komunitas tumbuhan
merupakan salah satu komponen biotik
yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar
dan lain-lain. Struktur dan komposisi
vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang
saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah
tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor
lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastik karena pengaruh anthropogenik
(Setiadi, 1984; Sundarapandian dan Swamy, 2000).
Ada
beberapa satuan pengukuran yang digunakan dalam menerangkan suatu populasi
ataupun komunitas seperti frekuensi, kepadatan, luas penutupan, dan biomassa.
Kepadatan merupakan jumlah individu per unit area atau unit volume. Dalam suatu
tempat tidak semuanya merupakan tempat yang layak bagi suatu spesies hewan.
Mungkin dari tempat itu hanya sebagian saja yang merupakan habitat yang layak
bagi hewan tersebut. Kepadatan mutlak atau kepadatan ekologi merupakan
kepadatan yang mendiami suatu bagian tertentu (Soegianto, 1994).
Sampling
tumbuhan menentukan permasalahan yang sering kita hadapi dalam menentukan
suatu individu tanaman. Tumbuhan yang berbentuk pohon atau herba. Untuk tanaman
yang hidup di dalam kelompok atau bereproduksi secara vegetatif dengan akar di
dalam tanah, cara yang umum digunakan adalah menganggap individu-inidividu
tersebut terputus-putus. Sedangkan untuk tanaman yang tumbuh dalam bentuk
rumpun, maka setiap rumpun dianggap sebagi satu individu.
Untuk
kondisi seperti ini, jenis pengukuran yang paling cocok adalah dengan mengukur
luas penutupan. Dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi
antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu dengan jumlah total
sampel. Frekunsi relatif suatu spesies adalah frekuensi dari suatu spesies
dibagi dengan jumlah frekuensi dari semua spesies yang terdapat dalam suatu
komunitas (Soegianto, 1994).
Kelimpahan
setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu
persen jumlah total sepsies yang ada dalam komunitas, dan dengan demikian
merupakan pengukuran yang relatif. Dari nilai relatif ini, akan diperoleh
sebuah nilai yang merupak INP (Indeks Nilai Penting). Nilai ini digunakan
sebagai dasar pemberian nama suatu vegetasi yang diamati. Secara bersama-sama,
kelimpahan dan frekuensi sangat penting dalam menentukan struktur komunitas
(Michael, 1990).
2.2.2 Diagram profil
Struktur vegetasi tumbuhan, seperti
tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor
penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta
keanekaragaman ekosistem. Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi
kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan. Keberhasilan
pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/penampakan anak pohon
(Pacala dkk., 1996).
Variasi ketersediaan cahaya dan
perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat
mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan.
Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon
dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan. Pada kondisi cahaya
rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan
perbedaan mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya
(Pacala dkk., 1996).
Diagram profil hutan dibuat dengan
meletakkan plot, biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung
densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya
berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi
cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan
menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung
dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif (Ashton dan
Hall, 1992).
Suatu stratum pohon dapat membentuk
suatu kanopi yang kontinu atau diskontinu. Hal ini kemungkinan disebabkan
adanya tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral. Istilah kanopi
adakalanya sinonim dengan stratum. Kanopi berarti suatu lapisan yang sedikit
banyak kontinu dari tajuk-tajuk pohon yang tingginya mendekati sama, misalnya
permukaan yang tertutup.
Atap dari hutan kadangkala juga disebut kanopi. Di
dalam hutan hujan, permukaan ini dapat dibentuk oleh tajuk-tajuk dari stratum
yang paling tinggi saja.
Hutan
hujan tropika terkenal karena pelapisannya. Ini berarti bahwa populasi campuran
di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak
sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian,
hutan itu secara khas menampikan tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan
lapisan lainnya yang terdiri dari belukar serta tumbuhan terna diuraikan
sebagai berikut :
1.
Lapis paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi 30-45 m.
pepohonan yang muncuk keluar ini mencuat tinggi di atas sudur hutan, bertajuk
lebar, dan ummnya terxebar sedemikan rupa sehingga tidak saling bersentuhan
membentuk lapisan yang bersinambung. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk
mengenali spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat itu sering
berakar agak dangkal dan berbanir.
2.
Lapis pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mencuat tadi, ada kalanya
disebut juga sebagai tingkat atas, terdiri dari pepohonan yang tumbuh sampai
ketinggian sekitar 18-27 m. pepohonan in tumbuh lebih berdekatan dan cenderun
membentuk sudur yagn bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan
tidak selebar seperti pada pohon yang mencuat.
3.
Lapis pepohonan ketiga (tingkat C), yang juga dinamakan tingkat bawah, terdiri
dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 8-14 m. pepohonan di sini
sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan
yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian.
4.
Lapisan D, selain dari lapis pepohonan tersebut, terdapat lapis belukar yang
terdiri dari spesies dengan ketinggian yang kebanyakan kurang dari 10 m.
tampaknya terdapat dua bentuk belukar : yang mempunyai percabangan dekat tanah
dan karenanya tak mempunyai sumbu utama; dan yang menyerupai pohon kecil karena
mempunyai sumbu utama yang jelas, yang sering dinamakan pohon kecil dan
mencakup pohon muda dari spesies pohon yang lebih besar.
5.
Yang terakhir lapisan E (merupakan lantai hutan), yaitu terdapat
lapis terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah
pepohonan yang lebih besar dari lapisan yang lebih atas, atau spesies terna
(Ewusie, 1990).
2.3. Survey Jenis Fauna
2.3.1. Burung
Bagian
terbesar dari ekosistem terdiri dari kumpulan tumbuhan dan hewan yang
bersama-sama membentuk suatu komonitas dan hewan yang disebut dengan komunitas
(Irwan,1997). Suatu komunitas terdiri dari banyak jenis danberbagai macam
fluktuasi populasi dan interaksi satu dengan yang lainnya. Komunitas terdiri
dari berbagai organisme –organisme dan saling berhubungan pada suatu lingkungan
tertentu. Nybakken (1998)
mengatakan bahwa komunitas adalah
beberapa
populasi spesies yang cenderung untuk hidup bersama di dalam berbagai daerah
geografis. Komunitas bisa juga dikatakan sebagai asosiasi dari interaksi
spesies yang menempati suatu daerah tertentu (Molles, 1999) dan Odum (1993)
mengatakan bahwa komunitas adalah kumpulan populasi-populasi apa saja yang
hidup dalam daerah tertentu atau habitat fisik yang telah ditentukan.
Komunitas
tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur tropik dan pola
arus energi yang khas tetapi juga mempunyai kesatuan komposisional dimana
terdapat peluang
jenis tertentu akan terdapat atau hidup berdampingan. Meskipun demikian, spesies
tersebut sebagian besar dapat diganti dalam waktu dan ruang sehingga secara
fungsional komunitas yang serupa dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda
(Odum, 1993).
Identifikasi
spesies burung merupakan perhatian terhadap beberapa kombinasi sifat burung
termasuk penampilan tubuh,suara, perilaku dan tempat hidup burung. Tingkat
pengenalan burung di lapangan dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Dikenal dengan tepat
Ciri-ciri
khas atau kombinasinya dapat dikenali secara menyeluruh dan pasti.
b.
Dikenal dengan keraguan
Ciri-ciri
yang terlihat adalah khas untuk spesies tertentu walaupun tidak selalu pasti,
jenis tersebut memang bisa diterima kehadirannya pada tempat dan waktu
tersebut.
c.
Belum dapat dipastikan
Ciri-ciri
dikenal tetapi kehadirannya di habitat itu tidak diharapkan sehingga hasil
pengamatannya hanya merupakan informasi baru dan kurang meyakinkan karena tidak
didukung dengan bukti yang kuat. Hal yang penting dalam identifikasi adalah
mencatat dengan rinci dan membuat gambar atau sketsa semua ciri-ciri burung
yang dilihat. Selain itu catatan merupakan sarana penting dalam identifikasi
lebih lanjut terutama bagi burung-burung yang tidak dapat dikenal langsung di
lapangan (MacKinnon, 1993).
Bentuk
tubuh dan postur adalah karakteristik penting yang digunakan dalam
mengidentifikasi burung. Beberapa ahli dapat mengidentifikasi spesies burung
dari bentuk tubuh atau siluet karena karakter ini adalah ciri yang sedikit
berubah. Perilaku burung dapat digunakan untuk mengidentifikasi burung melalui
cara terbang, berjalan, berenang, dan perilaku lainnya. Habitat dapat digunakan karena
beberapa spesies burung hanya dapat hidup pada habitat tertentu. Untuk burung spesies
baru atau yang belum dikenal, sebaiknya dibuat sketsa dalam buku catatan. Sketsa tersebut tidak
perlu terlalu artistik, yang penting tergambarkan berbagai ciri rinci seperti
ukuran, bentuk, panjang paruh, adanya jambul (hiasan pada bagian kepala), atau
ciri lain,warna bulu, panjang sayap dan
ekor, warna kulit muka yang tidak berbulu juga warna paruh, mata dan kaki serta
berbagai ciri lain yang tidak umum. Catatan tambahan tentang suara, tingkah
laku, dan lokasi, juga akan banyak membantu dalam pengenalan selanjutnya
(MacKinnon, 1993).
Kekayaan
spesies dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah
yang lainnya. Keanekaragaman
spesies di suatu wilayah ditentukan oleh berbagai faktor dan mempunyai sejumlah
komponen yang dapat memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor
geografi,perkembangan dan fisik (Odum, 1993). Keanekaragaman spesies rendah
terdapat pada komunitas daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah
kering, tanah miskin apalagi bekas kebakaran atau letusan gunung berapi,
sedangkan keanekaragaman yang tinggi biasanya terdapat pada lingkungan yang
optimum. Keanekaragaman
jenis burung di suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor -faktor sebagai berikut:
1.
Ukuran luas habitat.
Semakin luas habitatnya cenderung semakin tinggi keanekaragaman spesies burung.
2.
Struktur dan
keanekaragaman vegetasi. Di daerah yang keanekaragaman jenis tumbuhannya tinggi
maka keanekaragaman spesies hewannya termasuk burung, tinggi pula. Hal ini
disebabkan oleh setiap spesies hewan hidupnya tergantung pada sekelompok jenis
tumbuhan tertentu.
3.
Keanekaragaman dan
tingkat kualitas habitat secara umum di suatu lokasi. Semakin majemuk
habitatnya cenderung semakin tinggi keanekaragaman spesies burungnya.
4.
Pengendali ekosistem
yang dominan. Keanekaragaman spesies burung cenderung rendah dalam ekosistem
yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang diatur
secara biologi.
2.3.2 Primata
Primata
adalah mamalia yang menjadi anggota ordo biologi Primates. Di dalam ordo ini
termasuk lemur, tarsius, monyet, kera, dan juga manusia. Kata ini berasal dari
kata bahasa Latin primates yang berarti "yang pertama, terbaik,
mulia". Dari hasil pengamatan di kawasan Taman Wisata Alam Situ Gunung,
Sukabumi ditemukan jenis primata sebagai berikut:
Lutung jawa, dalam bahasa
latin disebut Trachypithecus
auratus merupakan salah satu jenis lutung asli (endemik) Indonesia.
Sebagaimana spesies lutung lainnya, lutung jawa yang bisa disebut juga lutung
budeng mempunyai ukuran tubuh yang kecil, sekitar 55 cm, dengan ekor yang
panjangnya mencapai 80 cm. Bulu lutung jawa (T. auratus) berwarna
hitam dan lutung betina memiliki bulu berwana keperakan di sekitar kelaminnya.
Lutung jawa (lutung budeng) muda memiliki bulu yang berwarna oranye. Lutung
jawa hidup secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri sekitar 7 – 20 ekor lutung
dengan seekor jantan sebagai pemimpin kelompok dan beberapa lutung betina
dewasa. Lutung betina hanya melahirkan satu anak dalam setiap masa kehamilan.
Beberapa induk betina dalam satu kelompok akan saling membantu dalam mengasuh
anaknya, namun sering kali bersifat agresif terhadap induk dari kelompok lain.
Lutung jawa merupakan satwa diurnal yang lebih banyak aktif di siang hari
terutama di atas pohon. Makanan kegemaran satwa ini antara lain dedaunan,
beberapa jenis buah-buahan dan bunga. Terkadang binatang ini juga memakan
serangga dan kulit kayu. Lutung jawa (T. auratus) merupakan satwa
endemik Indonesia yang hanya bisa dijumpai di pulau Jawa, Bali, Lombok, Palau
Sempu dan Nusa Barung. Keberadaan lutung jawa di pulau Lombik diduga karena
proses introduksi. Habitat alami lutung jawa (lutung budeng) adalah kawasan
hutan dengan berbagai variasi mulai hutan
bakau di pesisir pantai, hutan rawa air
tawar, hutan dataran rendah, hutan meranggas, hingga hutan dataran tinggi
hingga ketinggian mencapai 3.500 mdp. Daerah jelajah lutung jawa mencapai
seluas 15 ha.
Surili Jawa atau
Presbytis comata atau Javan Leaf Monkey
merupakan lutung endemik Jawa. Lutung yang terkadang disebut Surili saja ini
hanya dapat ditemukan di Jawa bagian barat dan tengah. Surili Jawa
juga ditetapkan sebagai fauna identitas kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tubuh
Surili Jawa ditumbuhi bulu berwarna hitam, kecoklatan atau keabuan untuk bagian
kepala hingga punggung. Sedangkan rambut di bagian dagu, dada, perut, lengan
bagian dalam, kaki, dan ekor berwarna putih. Kulit pada muka dan telinga
berwarna hitam pekat agak kemerahan. Primata yang menjadi fauna identitas
kabupaten Bogor ini merupakan hewan herbivora yang menyukai daun muda, kuncup
bunga, buah-buahan dan biji-bijian, serta sesekali memakan serangga, jamur dan
tanah. Sesekali Suruli Jawa turun ke tanah untuk memakan tanah guna membantu
proses pencernaannya. Surili Jawa (Presbytis comata) juga merupakan
binatang diurnal (aktif pada siang hari). Sebagian besar aktifitasnya, termasuk
tidur, dilakukan di atas pohon (arboreal). Surili Jawa atau Grizzled Leaf
Monkey merupakan hewan endemik yang hanya dapat ditemukan di Jawa bagian
barat dan tengah. Surili Jawa menempati habitat hutan primer dan sekunder mulai
dari hutan pantai, hutan bakau, hutan pegunungan pada ketinggian sekitar 2000 m
dpl (Jasin,1992).
2.3.3 Herpetofauna
Secara etimologis berasal dari
bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan “fauna”
yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata.
Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki
keseragaman yaitu berdarah dingin/poikilotermik. Fauna ini menyesuaikan suhu
tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2
kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia berdasarkan beberapa ciri yang berbeda
dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi
beberapa Ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.
Amphibi merupakan hewan yang
hidup di 2 habitat atau alam, yaitu perairan dan daratan. Herpetofauna yang
satu ini memiliki kelembaban kulit yang tinggi dan tidak tertutupi rambut. Kata
amphibi sendiri berasal dari kata “amphi” yang berarti ganda
dan “bios” yang berarti hidup. Secara asal kata, amphibi didefinisikan
sebagai hewan-hewan melata yang dapat hidup di dua alam. Kelas herpetofauna ini
dibagi menjadi 3 ordo yang masih ada hingga sekarang, yaitu Caudata
(amphibi berekor), Anura (amphibi tidak berekor), Gymnophiona
(amphibi tidak bertungkai). Umumnya kelas ini memiliki siklus
kehidupan seperti beberapa jenis insekta/serangga yang mengalami metamorfosis.
Caudata Merupakan ordo
amphibia yang memiliki ekor. Jenis ini memiliki tubuh yang panjang, memiliki
anggota gerak dan tidak memiliki tympanum (seperti telinga pada manusia).
Beberapa species Caudata mempunyai insang dan lainnya paru-paru. Kemudian ada
juga yang dapat bernafas menggunakan kulit. Tubuhnya terdiferensiasi antara
kepala, tubuh dan ekor. Pada bagaian kepala terdapat mata yang kecil dan pada
beberapa jenis, mata mengalami reduksi (Suprianto, 2009). Umumnya ordo ini
lebih dikenal sub-ordonya yaitu Salamandroidea atau Salamander. Sebenarnya
masih ada 2 sub-ordo lain (Sirenidea dan Cryptobranchoidea), tapi jenis ini yang
paling sering ditemukan.
Anura Merupakan amphibia yang
tidak berekor (dewasa). Namun pada siklus hidupnya, ordo Anura atau yang lebih
dikenal dengan katak ini memiliki ekor saat pada fase juvenile (muda,
berudu/kecebong). Ordo ini sering dijumpai dengan tubuhnya seperti
sedang jongkok. Tubuhnya terdiferensiasi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan,
dan anggota gerak(2 pasang tungkai=tetrapoda). Kulitnya cenderung basah karena
memiliki kelenjar lendir dibawah kulitnya. Anura sendiri sering dibagi menjadi
istilah katak dan kodok. Ciri yang paling mencolok adalah tekstur kulitnya,
dimana kulit katak lebih halus dari kodok juga bentuk tubuh katak yang lebih
ramping daripada kodok. Ordo ini hidup dapat hidup di dua tempat yaitu
pepohonan (arboreal) dan daratan yang termasuk kedalamnya sumber air (Jasin,
1992).
BAB
III
Metode
Penelitian
3.1. Waktu
dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Situ Gunung,
Jawa Barat. Pengamatan survey tumbuhan dan survey hewan dilakukan di daerah Curug
dan Danau. Pengamatan survey tumbuhan dan survey hewan dilakukan pada tanggal
15-16 November 2013. Lokasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1. Peta Kawasan Taman Nasional
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah roll meter, klinometer,
alat tulis, tabulasi data, pita meter, lux meter, anemometer, soil moisture
tester, kompas, botol semprot, sasak, plastik sampel, sarung tangan, binokuler,
kamera, buku identifikasi, jam tangan, stopwatchdan cutter.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koran, kardus, polybag,
alkohol 70%, aquades, karton, label, tissue.
3.3. Metode
Kerja
3.3.1. Survey
Tumbuhan
3.3.1.1. Analisis vegetasi (Metode Nested Plot)
Dibuat
dua plot bertingkat berbentuk persegi pada lokasi sampling yang telah
ditentukan dengan jarak antar plot 20 m. Adapun ukuran plot untuk semai dan
tumbuhan bawah (2 x 2 m), pancang (5 x 5 m), tiang (10 x 10 m), dan pohon
dewasa (20 x 20 m) sebagaimana Gambar 2. Kemudian dicatat nama jenis (lokal dan
ilmiah), keliling pohon, jumlah individu suatu jenis, dan tinggi pohon pada
tabulasi data yang tersedia. Diambil sampel tumbuhan yang belum teridentifikasi
untuk pembuatan herbarium. Dilakukan pengukuran faktor abiotik pada
masing-masing plot. Dilakukan anailisi data: INP, Indeks Shanon-Wiener, dan
Eveness.
2 m
5m
Pancang
10 m
Tiang
20
m
Pohon
|
Gambar
2 Metode Nested Plot
3.3.1.2. Diagram Profil
Diagram profil dibuat dari dua plot pada analisis vegetasi namun
berukuran 60 x 10 m, dilakukan di lokasi saat melakukan analisis vegetasi.
Diukur jarak horizontal dari titik 0 (pusat) ke masing-masing pohon sebagai
dxi. Diukur jarak vertikal dari sumbu x (panjang transect 60 m) ke
masing-masing pohon sebagai dyi. Diukur tinggi total masing-masing individu
pohon. Diukur tinggi bebas cabang masing-masing pohon. Diukur panjang tajuk
(pt). Diukur lebar tajuk (lt). Diukur tebal tajuk (tt). Diukur keliling pohon.
3.3.2. Survey
Hewan
3.3.2.1. Burung
Pengamat berjalan sepanjang transek sambil mencatat jenis burung yang
teramati. Pengamat mencatat jenis burung pada daftar jenis (maksimum 20 jenis),
setelah 20 jenis pencatatan dilakukan pada form daftar jenis baru, begitupun
selanutnya. Diambil dokumentasi burung sebagai pelengkap laporan.
3.3.2.2. Primata
Metode yang digunakan dalam pengamatan perilaku primata adalah scan
sampling. Pengamat mencatat perilaku hewan pada interval waktu 2 menit,
selanjtunya pengamat mencatat perilaku primata pada tabulasi data.
3.3.2.3. Herpetofauna
Metode yang digunakan pada pengamatan herpetofauna ialah metode transek.
Pengamat mengamati pada suatu transek sepanjang 500 m. Pencacatan jenis dengan
mengamati kedua sisi pengamat pada transek yang telah ditntukan.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Indeks Niai Penting (INP) Tumbuhan Bawah
|
3.4.1.1.
Frekuensi Jenis (Fi)
|
3.4.1.2.
Frekuensi Relatif Jenis (FR)
|
3.4.1.3.
Kerapatan Jenis (Ki)
|
3.4.1.4.
Kerapatan Relatif Jenis (KR)
|
3.4.1.5.
Dominansi Jenis (Di)
|
3.4.1.6.
Dominansi Jenis Relatif (DR)
3.4.1.7. Indeks Nilai
Penting (INP)
|
|
3.4.2. Indeks Niai Penting (INP) Pohon
|
3.4.3. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
3.4.4. Kekayaan, Kesamaan, dan Dominansi Jenis
Burung
3.4.4.1. Indeks Dominansi
Jenis (Indeks Simpson)
|
Keterangan : λ = Indeks Simpson
pi
= Kelimpahan Jenis
|
3.4.4.2.
Indeks Kekayaan Jenis
Keterangan
: D = Indeks Margalef
S
= Jumlah Seluruh Jenis
N
= Jumlah Seluruh Individu
|
3.4.4.3.
Indeks Kesamaan Jenis
Keterangan : IS = Indeks Sorensen
A
= Jumlah Jenis di Lokasi a
B
= Jumlah Jenis di Lokasi b
C
= Jumlah Jenis di Lokasi c
3.4.5. Frekuensi Perilaku Primata
|
3.4.5.1.
Persentase aktivitas
Keterangan : A = Rata-Rata Aktivitas yang Diamati Dalam Perlakuan
B
= Jumlah Seluruh Aktivitas yang Diamati
|
3.4.6. Kekayaan Jenis Herpetofauna
Keterangan : D = Indeks Margalef
S
= Jumlah Seluruh Jenis
N
= Jumlah Seluruh Individu
BAB
IV
Hasil
dan Pembahasan
4.1. Komposisi Jenis Tumbuhan bawah
Hasil
Pengamatan yang dilakukan terhadap komposisi dan keanekaragaman jenis Tumbuhan
bawah yang ada di lokasi Curug Sawer dan Danau Situ Gunung, Sukabumi jawa
barat. Pengamatan ini dilakukan pada hari jum’at tanggal 15 November 2013 dan
mendapatkan data keanekaragaman jenis Tumbuhan bawah sebagai berikut :
Gambar 1. Diagram Perbandingan
Jenis Tumbuhan Bawah
Berdasarkan
data diagram perbandingan jenis tumbuhan bawah diatas distribusi atau sebaran
spesies sangat tergantung pada diversity (keragaman), abundance (kelimpahan),
dan species richness (kekayaan jenis). Pengamatan tumbuhan bawah kali ini
menggunakan indeks yaitu suatu nilai tunggal yang menggambarkan suatu keadaan
secara sederhana diantaranya Margalef’s index (D), Shannon-Wiener’s Index (H’),
Evenness (E) dan Simpson’s index/ indeks dominansi (ʎ).
Nilai
indeks margalef pada diagram diatas menunjukan bahwa keanekaragaman total
individu seluruh spesies pada lokasi daerah curug jumlah lebih rendah dari
lokasi danau. Pada lokasi curug Nilai indeks margalef yaitu 3,45 sedangkan pada
lokasi danau yaitu 4,23. Hal ini menunjukan bahwa tingkat jenis tumbuhan bawah
lebih tinggi pada lokasi danau karena tidak ditutupi oleh kanopi pohon yang
rapat sehingga banyak terdapat jenis spesies tumbuhan bawah.
Kehadiran
vegetasi pada suatu pandangan akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan
ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu
ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen
dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata
air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu
area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada
struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.
Sebagai
contoh vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi besarnya
tergantung struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi
daerah tersebut (Syafei,1990). Keanekaragamna jenis tumbuhan bawah berdasarkan
indeks Shannon-Wiener (H’) pada diagram diatas pada lokasi curug dan danau
menunjukan tingkat keanekaragaman yang sedang pada suatu kawasan Situ Gunung,
dengan nilai indeks berkisar antara 2,26 dan 2,45. Semakin tinggi nilai H’
mengindikasikan semakin tinggi jumlah species dan semakin tinggi kelimpahan
relatifnya.
Keanekaragaman
jenis tumbuhan menunjukkan beranekaragam atau banyak jenis pada kelompok flora
baik dari tingkatan tumbuhan bawah, semai, pancang tiang dan pohon.
Keanekaragaman jenis dalam suatu kawasan dinyatakan rendah apabila <1,
sedang 1 – 3 dan tinggi >3. Dominansi merupakan kondisi dimana suatu kawasan
hutan banyak ditumbuhi jenis-jenis tertentu sehingga jenis yang lain relatif
kecil kelimpahannya (syafei,1990).
Untuk
melihat kemerataan jenis dapat kita lihat dengan indeks Evenness (E) pada
daerah curug 0,77 dan daerah danau 0,74 yang menunjukan bahwa pada lokasi curug
dan danau kemerataan jenisnya tinggi. Karena nilai indeks kemerataan jenisnya
mendekati atau sama dengan 1. Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis
struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total spesies yang ada
dalam komunitas, dan dengan demikian merupakan pengukuran yang relatif.
Dari
nilai relatif ini, akan diperoleh sebuah nilai yang merupak INP (Indeks Nilai
Penting). Nilai ini digunakan sebagai dasar pemberian nama suatu vegetasi yang
diamati. Secara bersama-sama, kelimpahan dan frekuensi sangat penting dalam
menentukan struktur komunitas (Michael, 1990). Nilai indeks dominansi pada
daerah curug yaitu 0,16 dan pada daerah danau 0,14 untuk pemantauan dominasi
jenis tumbuhan bawah nilainya berbanding terbalik dengan nilai kelimpahan dan
keanekaragaman jenis artinya semakin kecil nilai dominasinya maka semakin bagus
kenekaragaman jenisnya begitu juga sebaliknya bila nilai dominasinya besar maka
kelimpahan dan keanekaragamanya kecil / sedikit (syafei,1990).
Hal
ini sesuai dengan nilai indeks keanekaragaman jenis pada daerah danau yang
lebih tinggi dari daerah curug karena perbedaan tingkat daerah yang kerapatan
kanopi di daerah curug lebih rapat dibandingkan daerah danau yang menyebabkan
jenis tumbuhan bawah lebih sedikit tumbuh pada daerah yang kerapatan kanopinya
tinggi karena cahaya matahari tidak langsung jatuh ketanah.
4.2. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Pohon
Indeks
nilai penting merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter
(kerapatan, frekuensi, dan dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga
nilainya juga bervariasi.berikut dibawah ini merupakan tabel hasil perhitungan
Indeks Nilai Penting (INP) pohon Taman Wisata Alam Situ Gunung di daerah danau
dan curug,
Lokasi
|
Tingkat
pertumbuhan
|
Jenis
|
INP
(%)
|
Danau
|
Pohon
|
Agathis
sp
|
178,60%
|
Pohon
|
Peristrophe hyssopifolia
|
37,42%
|
|
Pohon
|
Pinus merkusii
|
36,28%
|
|
Tiang
|
Leucaena
sp
|
105,05%
|
|
Tiang
|
Homalants populneus
|
52,58%
|
|
Tiang
|
Araliaceae
|
28,22%
|
|
Pancang
|
Leucaena
sp
|
53,15%
|
|
Pancang
|
Caliandra calotthyrsus
|
46,64%
|
|
Pancang
|
Mimosae
|
26,27%
|
|
Curug
|
Pohon
|
Agathis
sp
|
147,78%
|
Pohon
|
Cyathea
sp
|
43,39%
|
|
Pohon
|
Leucaena
sp
|
41,10%
|
|
Tiang
|
Leucaena
sp
|
107,04%
|
|
Tiang
|
Pinangan javana
|
64,06%
|
|
Tiang
|
Palmaceae
|
49,81%
|
|
Pancang
|
Leucaena
sp
|
118,42%
|
|
Pancang
|
Pinangan javana
|
53,70%
|
|
Pancang
|
Hibiscus tiliaceus
|
27,89%
|
Tabel 1. INP
Pohon di Danau dan Curug
Nilai INP tertinggi
unuk pohon di danau dan curug ditemukan pada jenis Agathis sp yaitu sebesar 178,60% dan 147,78 %. Nilai INP tertinggi
unuk tiang dan pancang di danau dan curug ditemukan pada jenis Leucaena sp. Menurut Sundarapandian dan
Swamy (2000), besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis yang
bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian. Jenis Agathis sp dan Leucaena sp merupakan dua jenis yang mendominasi daearah Danau dan
Curug karena memiliki INP tertinggi. Kemampuan keduanya dalam menempati
sebagian besar lokasi penelitian menunjukan bahwa keduanya memiliki kemampuan
beradaptasi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian. Jenis Agathis sp dan Leucaena sp yang memiliki diameter beatang besar diperkirakan salah
satu yang lebih dahulu tumbuh di lokasi penelitian setelah letusan dahsyat
gunung Gede-Pangarango yang terakhir pada tahun 1886. Letusan tersebut
mengakibatkan sebagian besar kawasan gunung Gede-Pangarango dan sekitarnya mati
hangus dan tidak menyisahkan propagul tumbuhan yang hidup sebelumnya, sehingga
proses suksesi yang terjadi merupakan suksesi primer. Fakta yang mendukung
asumsi ini adalah bahwa Agathis sp
dan Leucaena sp merupakan jenis pohon
yang dominan di sekitar lokasi dan memungkinkan untuk mengalami dispersal.
Menurut Whitmore dalam Lugo dan Lowe (1995) struktur dan komposisi hutan sangat
dipengaruhi gangguan baik yang bersifat alami maupun anthropogenik. Menurut
bukti arkeologis, dampak gangguan masih dapat diamati dari peristiwa 200 tahun
sebelumnya.
Letusan dahsyat gunung
Gede-Pangarango pada tahun 1886 telah mengakibatkan sebagian besar vegetasi di
gunung Gede-Pangarango dan sekitarnya mati sehingga proses suksesi yang terjadi
merupakan suksesi primer . Setelah tahun 1886 masih terjadi letusan-letusan
kecil sampai dengan tahun 1957 tetapi hanya menyemburkan debu vulkanik yang
justru menyuburkan tanah. Jenis Agathis
sp dan Leucaena memiliki rata-rata
diameter batang dan tinggi pohon yang lebih besar dibandingkan dengan pohon
lainnya sehingga dianggap lebih dahulu tumbuh di lokasi.
Jenis yang dominan pada tingkat pohon
yaitu: Agathis sp, Peristrophe hyssopifolia, Pinus merkusii,
Cyathea sp, dan Leucaena
sp. Jenis yang dominan pada tingkat tiang yaitu: Leucaena sp, Homalants
populneus, Araliaceae, Pinangan
javana, Palmaceae. Jenis yang dominan pada tingkat pancang yaitu: Leucaena sp , Caliandra calotthyrsus, Mimosae, Pinangan javana, dan Hibiscus
tiliaceus. Berbedanya jenis-jenis yang dominan disebabkan karena adanya
persaingan yang cukup kuat, baik dari segi nutrisi, air dan perolehan cahaya.
Terlihat
bahwa jenis-jenis yang dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu
dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian
Wahyu (2002) yang menyatakan bahwa adanya variasi-variasi dari jenis-jenis yang
dominan dan ko-dominan pada setiap tingkat pertumbuhan memberikan pengertian
bahwa jenis dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada
tingkat pertumbuhan yang lain. Begitu juga dengan Tandju (1988) yang
mengemukakan bahwa jenis yang mempunyai jenis INP tertinggi dan seterusnya
hingga terendah menunjukkan urutan peranan atau penyesuaian jenis dalam
persaingan. Menurut Sutisna (1981), suatu jenis dapat dikatakan berperan jika
nilai INP lebih dari 10% untuk tingkat semai dan pancang serta lebih dari
15% untuk tingkat tiang dan pohon.
Dominansi
jenis-jenis yang ada di atas dikarenakan jenis-jenis tersebut ditemukan dalam
jumlah banyak (kerapatannya tinggi), tersebar merata di seluruh areal, dan
untuk tingkat tiang dan pohon yang memiliki diameter yang besar. Selain itu
jenis-jenis dominan yang ada berhasil memanfaatkan sebagian sumber daya yang
ada daripada jenis-jenis yang lainnya. Hali ini dijelaskan oleh Soerianegara
dan Indrawan (1998) bahwa pertumbuha mempunyai korelasi yang sangat nyata
dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan
dominansinya
4.3. Kekayaan dan Komposisi Jenis Burung
Tabel
2. Indeks Kekayaan Jenis
Lokasi
|
Waktu
Pengamatan
|
Indeks
Kekayaan Jenis
|
Danau
|
Pagi
|
2,16
|
Sore
|
3,67
|
|
Curug
|
Pagi
|
5,41
|
Sore
|
3,81
|
Tabel 3. Kesamaan Jenis Burung
Lokasi
|
Indeks
Kesamaan Jenis
|
|
Danau
|
0,44
|
|
Curug
|
0,36
|
|
Tabel 4. Kekayaan
dan Kesamaan Jenis Burung
Lokasi
|
Indeks
Kekayaan Jenis
|
Indeks
Kesamaan Jenis
|
|
Danau
|
3,67
|
0,44
|
|
Curug
|
5,96
|
0,36
|
|
Berdasarkan hasil perhitungan indeks margalef, maka
dapat diketahui di curug lebih kekayaannya jenis burung lebih tinggi
dibandingkan dengan di danau dengan nilai kekayaan jenis 5,96 di curug sebagaimana dalam Tabel 4. Hal tersebut terlihat dari
komposisi jenis pohon di curug lebih tinggi dibandingkan di danau. Struktur vegetasi
pada masing-masing lokasi pengamatan juga berbeda, curug dengan struktur
vegetasi yang lebih rapat dibandingkan danau. Kedua hai tersebut sebanding
dengan sumber daya pakan dan ketersediaan habitat pada daerah tersebut. Kemudian
kekayaan jenis di curug pada pagi hari lebih tinggi dengan nilai 5,41 daripada
saat sore hari. Hal ini diduga karena faktor fisik pada daerah curug disore
hari lebih mendukung keluarnya magsa bagi burung tersebut, sebagaimana
diketahui karena curug sawer merupakan salah satu objek wisata Taman Wisata
Alam Situ Gunung, maka di duga kehadiran manusia juga turut serta mempengaruhi
kekayaan jenis burung tersebut. Sebaliknya di daerah danau lebih banyak jenis
burung yang suka mencari makan disore hari dibandingkan pagi hari. Hal ini
ditandai dengan kekayaan jenis di danau sore hari dengan nilai 3,67 lebih
tinggi dibandingkan dengan pagi hari ditempat yang sama. Hal ini diduga karena
faktor fisik suhu 21°C di danau yang lebih mendukung dipagi hari
yang cukup hangat untuk burung-burung keluar beraktivitas dibandingkan mungkin
disore hari yang lebih dingin.
Apabila
dilihat dari jumlah jenis burung yang didapat di kawasan Curug sebanyak 19
jenis dan Danau Situ Gunung sebanyak 17 jenis, tidak tampak perbedaan yang
mencolok. Jumlah jenis burung hanya berbeda 2 jenis yang bisa dikatakan bahwa
kedua lokasi ini seragam. Tetapi jika dilihat dari jenis-jenis burung yang
hanya ditemui di suatu kawasan, maka tingkat kesamaan jenis burung pagi dan
sore rendah. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan indeks kesamaan
keanekaragaman yang hasilnya adalah 36%.
Hal
ini dipengaruhi oleh faktor fisik dari masing-masing kawasan seperti suhu di
danau 21°C yang berbeda dengan di curug. Kawasan Danau situ gunung memiliki
jenis tumbuhan dominan yang berbeda dengan kawasan Curung. Penyebaran spesies pada penelitian ini ditinjau dari
karakteristik spesies yang ditemukan perbedaan
berdasarkan tipe habitatnya.
Jenis burung yang ditemukan umumnya merupakan tipe burung arboreal, dimana burung-burung arboreal
relatif lebih umum pada area dengan vegetasi berupa tanaman berhabitus
pohon. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kesamaan komunitas dapat berupa faktor biotik maupun
abiotik. Salah satu contoh faktor biotik yang dapat mempengaruhi
keberadaan burung adalah jenis vegetasi, sedangkan
faktor abiotik yang
mungkin mempengaruhi keberadaan suatu populasi burung
adalah ketinggian. Habitat hutan Curug
indeks kesamaan komunitasnya lebih tinggi dibandingkan Danau Burung-burung arboreal memiliki struktur morfologi
yang sesuai untuk hidup pada tajuk pohon sebagai contoh adalah
tipe kaki berupa kaki petengger. Burung-burung arboreal menggunakan pohon sebagai tempat untuk
bertengger bersarang
serta melakukan aktivitas makan (Isaccha et al.2005). Pada area pengamatan pesisir
pantai vegetasi didominasi tanaman berhabitus semak kondisi
ini
relatif tidak sesuai bagi kehidupan burung-burung
dengan
perilaku arboreal, oleh karena itu burung-burung
arborealcenderung lebih sedikit ditemui di area
Curug.
4.4.
Perilaku
Harian Lutung
Lutung
jawa mulai beraktivitas dengan bangun dari tidurnya sekitar 05.10 WIB, kemudian
sekitar pukul 05.30 WIB berpindah dan makan di pohon tempat tidur atau pohon
sumber pakan disekitar pohon tempat tidur. waktu mulai beraktivitas ini tidak
tetap,mengikuti perubahan atau mengikuti pergeseran waktu terbit matahari.
akhir aktivitas harian ditandai dengan aktivitas berpindah memasuki pohon
tempat tidur. setelah memasuki pohon tempat tidur ini, umumnya lutung tidak
beraktivitas lagi, namun beberapa individu masih melakukan aktivitas makan dan
mencari posisi tidur. Lutung memasuki pohon tempat tidur pukul 17.45 WIB dan
mulai tidur sekitar pukul 18.05 WIB.
Gambar
2. Histogram Presentase Aktivitas Lutung
di Curug
Gambar
3. Presentase Aktivitas Harian Lutung di Danau
Penggunaan
waktu untuk aktivitas makan pada lutung dari gambar tersebut, terlihat aktivitas
makan yang terbesar dilakukan lutung jawa pada pagi hari. Hal tersebut
menyatakan bahwa Suplai energi yang besar ini diperlukan lutung untuk menjaga
metabolisme tubuh selama istirahat panjang (tidur malam) dan untuk beraktivitas
berpindah pada hari berikutnya.
Penggunaan waktu aktivitas bergerak
lebih besar pada waktu sore hari. Namun seharusnya pergerakan ini tidak sesuai
dengan sumber menurut Nursal Ikbal. Dimana aktivitas lutung bergerak pada pagi hari ditunjukkan untuk
mendapatkan pohon sumber pakan, sedangkan siang hari untuk mendapatkan pohon
tempat beristirahat, sedangkan pada sore hari berfungsi untuk mendapatkan pohon
sumber pakan dan memasuki pohon tempat tidur.
Penggunaan waktu aktivitas bermain
berdasarkan presentase tersebut lebih besar pada waktu pagi hari. Hal ini
menunjukan aktivitas bermain yang dimaksud melibatkan interaksi antara dua
individu atau lebih. Aktivitas sosial bermain terlihat pada anak dan remaja,
tapi tidak terlihat pada individu jantan dan betina dewasa,serta pada bayi.Pada
bayi, tidak ada interkasi aktivitas bermain dengan individu lain, karena
kemampuan lokomosi usia bayi belum memungkinkan untuk melakukan
aktivitas-aktivitas berlari dan melompat, aktivitas yang umum terlihat pada
kativitas bermain. Aktivitas bermain pada bayi berfungsi untuk melatih
kemampuan lokomosinya. Penggunaan waktu aktivitas bermain pada anak lebih besar
daripada remaja. Hal ini wajar karena individu remaja akan segera beralih
menjadi individu dewasa, dengan demikian terjadi penyesuaian perilaku social
sesuai dengan yang dilakukan oleh individu dewasa.
Penggunaan waktu untuk aktivitas
beristirahat terbesar terjadi pada periode siang atau sore hari. Dapat
dikatakan bahwa aktivitas ini paling menonjol daripada aktivitas lainnya.
Besarnya penggunaan untuk aktivitas istirahat di periode sore berhubungan erat
dengan kondisi cuaca. Suhu udara (lingkungan) tertinggi terjadi pada pukul
14.00 WIB (koesmaryono dan Handoko 1988). Pada wakti ini, aktivitas istirahat
merupakan respon yang paling tepat untuk menjaga keseimbangan panas dan air
dalam tubuh lutung.
Aktivitas Grooming yang terbesar
terdapat pada waktu sore hari. Hal ini menunjukan bahwa lutung lebih suka
melakukan menggunakan aktivitas istirahatnya untuk bermain ataupun bergrooming.
aktivitas tersebut sering dilakukan oleh kelompokan lutung demi melakukan
interaksi antar sesamanya.
Berdasarkan
presentase tersebut dapat diketahui bahwa aktivitas yang lebih besar terdapat
pada waktu pagi hari. Aktivitas tersebut mencakup aktivitas makan, aktivitas
Grooming, aktivitas bermain, aktivitas
sosial, aktivitas bersuara. Namun sebaliknya pada waktu sore terdapat aktivitas
dari lutung yang terbesar dengan melakukan aktivitas bergerak. Hal tersebut
menunjukan bahwa waktu pagi hari dimana lutung dapat melakukan segala
aktivitasnya di banding pada waktu sore hari.
Gambar
4. Diagram Durasi Aktivitas Harian Lutung di Danau
Berdasarkan
Diagram diatas, bahwa durasi yang lebih banyak melakukan aktivitas pada areal
danau situ gunung ialah Bergerak sebesar 40,5 %, dan yang paling kecil durasi
terhadap aktivitas bermain dan bersosisal yaitu 2,7 %.
Gambar
5. Diagram Durasi Aktivitas Harian Lutung di Curug
Berdasarkan
Diagram diatas, bahwa durasi yang lebih banyak melakukan aktivitas pada areal
Curug situ gunung ialah Bergerak sebesar 41,2 %, dan yang paling kecil durasi
terhadap aktivitas Makan dan bersosisal yaitu 11,8 %.
4.5. Kekayaan Jenis Herpetofauna
Hasil
pengamatan keanekaragaman jenis herpetofauna di danau Situ Gunung, didapatkan
hasil seperti terlihat di tabel hasil di bawah bahwa nilai Indeks Kekayaan
Jenis (D) adalah 1.38, nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Weiner (H') adalah
1.27, nilai Indeks Dominansi Jenis (λ)
adalah 0,36, dan nilai Indeks Kemerataan Jenis (E) adalah 0,79.
Tabel
5. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Danau Situ Gunung
Indeks
|
Nilai
Indeks
|
D
|
1.38
|
H'
|
1.27
|
Λ
|
0.36
|
E
|
0.79
|
Hasil
pengamatan dan analisis secara keseluruhan yang dilakukan di lokasi danau Situ
Gunung menunjukkan beberapa hal, antara lain kekayaan jenis Herpetofauna di
lokasi tersebut bila dilihat dari nilai indeksnya yaitu 1,38 dapat dikatakan
terbilang tinggi, keanekaragaman jenis Herpetofauna pada lokasi tersebut yang menunjukkan
nilai 1,27 dapat dikatakan bahwa tingkat kelimpahan jenisnya terbilang sedang
yang berarti melimpah (1 ≤ H’ ≤ 3), dominansi jenis (λ)
Herpetofauna di lokasi tersebut lebih didominansi oleh Bufo sp. yang
mana ditunjukkan dengan nilai 0,03, dominansi Rana
sp. adalah 0,31, dominansi Fejevarya limnocharis adalah 0,01,
dominansi Mabouya sp. adalah 0,01, dominansi Rachoporus sp.
adalah 0,00, serta kemerataan jenis Herpetofauna di lokasi tersebut terbilang
merata, hal ini dapat dilihat dari nilai analisis yang didapat yaitu 0,79,
dimana nilai tersebut mendekati 1.
Frekuensi
jenis yang sering ditemukan adalah Rana sp. dan dilanjutkan dengan Bufo
sp. . Di lokasi penelitian jenis Rana sp. ditemukan hamper di semua tipe
habitat. Jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Fejevarya limnocharis,
Mabouya sp., dan Racophorus sp.
Jenis-jenis
Rana chalconota merupakan jenis yang ditemukan di semua tipe habitat yang
diamati. Rana chalconota memiliki selaput kaki yang penuh, ini menandakan jenis
ini lebih menyukai habitat akuatik. Jenis ini dapat tinggal di habitat yang
terdapat air, bahkan dari dataran rendah sampai ketinggian lebih dari 1200 mdpl
(Iskandar 1998). Rana erythraea dan Rana nicobariensis biasa berasosiasi dengan
Rana chalconota di habitat akuatik danau. Ketiga jenis ini dapat dijumpai
bertengger diantara rerumputan yang ada di sisi danau. Rana hosii lebih
menyukai sungai daripada danau. Rana hosii biasanya selalu berhubungan dengan
sungai (Iskandar 1998) dan tinggal di sungai yang jernih dan sungai besar (Inger
2005). Rana picturata ditemukan di sepanjang sungai yang berarus sedang di
hutan primer dan hutan sekunder (Mistar 2003). Jenis ini biasa bertengger di
ranting-ranting sisi sungai ± 20 sampai 50 cm dari permukaan air.
BAB
V
Kesimpulan
·
Hasil Pengamatan yang
dilakukan terhadap komposisi dan keanekaragaman jenis Tumbuhan bawah yang ada
di lokasi Curug Sawer dan Danau Situ Gunung, Sukabumi jawa barat. Nilai indeks
margalef menunjukan bahwa keanekaragaman total individu seluruh spesies pada
lokasi daerah curug jumlah lebih rendah dari lokasi danau. Keanekaragaman jenis
tumbuhan bawah berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’) lokasi curug dan danau
menunjukan tingkat keanekaragaman yang sedang pada suatu kawasan Situ Gunung,
dengan nilai indeks berkisar antara 2,26 dan 2,45 dan pada lokasi curug dan
danau kemerataan jenisnya tinggi.
·
Terdapat
3 jenis pohon di danau dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Agathis sp (178,60%), Peristrophe
hyssopifolia (37,42%), dan Pinus
merkusii (36,28%), sedangkan 3 jenis pohon di curug dengan nilai INP
tertinggi, yaitu: Agathis sp
(147,78%), Cyathea sp (43,39%), dan Leucaena sp (41,10%). Terdapat 3 jenis
tiang di danau dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Leucaena sp (105,05%), Homalants
populneus (52,58%), Araliaceae (28,22%), sedangkan 3 jenis tiang di curug
dengan nilai INP tertinggi, yaitu: Leucaena
sp (107,04%), Pinangan javana
(64,06%), dan Palmaceae (49,81). Terdapat 3 jenis pancang di danau dengan nilai
INP tertinggi, yaitu: Leucaena sp
(53,15%), Caliandra calotthyrsus (46,64%),
dan Mimosae (26,27%), sedangkan 3 jenis pancang di curug dengan nilai INP
tertinggi, yaitu: Leucaena sp
(118,42%), Pinangan javana (53,70%),
dan Hibiscus tiliaceus (27,89%).
·
Untuk jenis burung
Taman Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi di daerah curug lebih kaya jenis
burungnya dan lebih rendah kesamaan jenisnya daibandingkan dengan daerah danau.
Selain itu kekayaannya jenis burung pada pagi hari di daerah curug lebih rendah
dibandingkan pada sore hari, sementara di daerah danau sebaliknya pada pagi
hari lebih tinggi dibandingkan pada sore hari.
·
Waktu aktif kelompok
lutung berdasarkan presentase di areal situ gunung dan curug sawer yaitu lebih
sering beraktivitas pada pagi hari. aktivitas
bergerak sangat menonjol di sore hari pada kedua areal situ gunung
maupun curug sawer. Durasi aktivitas merupakan interval waktu saat pengamatan
primata di areal curug dan dan danau untuk mencatat prilaku hariannya.
Berdasarkan Diagram tersebut Durasi yang paling menonjol ialah waktu bergerak.
·
Hasil pengamatan dan
analisis secara keseluruhan menunjukkan bahwa lokasi di sekitar Danau Situ Gunung
merupakan habitat yang sesuai bagi beberapa spesies kelompok herpetofauna.
Kondisi vegetasi mulai tingkat semai sampai pohon di sekitar lokasi tersebut
juga sangat mendukung keberadaan Amphibia khususnya Bufo.
Daftar Pustaka
Arumasari. 1989.
Komunitas Burung Pada Berbagai Habitat di
Kampus UI, Depok. Jakarta: Skripsi Sarjana Biologi FMIPA Universitas
Indonesia
Ashton,
P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp
forests of north-western Borneo. Journal of Ecology.
Dombois
and Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
Vegetation Ecology. New York: John Wiley Sons
Ewusie, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
Greigh-Smith.
1983. Quantitative Plant Ecology.
Oxford: Blackwell Scientific Publication
Halle.
1978. Tropical Trees and Forest, an Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin- Heidelberg. Newyork.
Heddy. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: CV Rajawali
Irwan. 1997. Tatanan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota.
Jakarta: CIDES.
Jasin, M. 1992. Zoologi Vertebrata untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya: Sinar Wijaya
Kartawinata, K.1984. Pengantar Ekologi.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Koermaryono,Y.
dan Handoko. 1998. Klimatologi dasar:
Bahan pengajaran. Jurusan Geofisika dan Meteorologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor
Lugo, A.E. and C. Lowe. 1995. Tropical Forest: Management and Ecology.
New York. Springer-Verlag.
MacKinnon,
J. and K. Philipps. 1993. A Field Guide to The Birds of Borneo, Sumatera,
Java and Bali. Oxford University Press. Oxford, New York, Tokyo.
Michael, M.
1992. Ekologi Umum. Jakarta: Universitas Indonesia
Molles,
Manuel C, Jr. 1999. Ecology,
Concept and Application. McGrawHill
Company Inc: New York
Nursal, wim ikbal.2001.Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di
pos Selabintana Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango Jawa Barat. skripsi jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nybakken JW.
1998. Biologi Laut; Suatu pendekatan Ekologis.Jakarta: PT. Gramedia
Odum, E, P. Terjemahan Tjahjono Samingan. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Onrizal. 2008. Petunjuk
Praktikum Ekologi Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Pacala,
S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E.Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements
II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph.
Rombang
WM dan Rudyanto. 1999. Daerah Penting
Bagi Burung Jawa dan Bali. Bogor: PKA/Birdlife International-Indonesia
Programme
Rusmendro H.
2004. Bahan Kuliah Ornithology.
Jakarta: Fakultas Biologi Universitas Nasional
Simanung. 2009. Analisis Vegetasi. http://bpkaeknauli.org/index Diakses pada 12
Desember 2013.
Setiadi, D. 1984. Inventarisasi Vegetasi Tumbuhan Bawah dalam
Hubungannya dengan Pendugaan Sifat Habitat Bonita Tanah di Daerah Hutan Jati
Cikampek, KPH Purwakarta, Jawa Barat. Bogor: Bagian Ekologi, Departemen
Botani, Fakultas Pertanian IPB
Soegianto, A., 1994. Ekologi
Kuantitatif. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Soerianegara, I. 1988. Ekologi
Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor : Bogor
Sundarapandian,
SM. and P.S. Swamy. 2000. Forest
ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the
Western Ghats, South India. Journal of Tropical Forest Science 12
(1):104-123.
Sutisna, U. 1981. Komposisi Jenis Pohon Hutan Bekas Tebangan di Batu Licin Kalimantan
Selatan: Deskripsi dan Analisa. Laporan No. 382. Balai Penelitian Hutan
Bogor
Syafei, 1990. Dinamika
Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Umar,
M. R., 2013. Ekologi Umum Dalam Praltikum. Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Tandju, H.A. 1988. Struktur dan Komposisi Tumbuhan pada Berbagai Tingkat Ketinggian Hutan
Montana di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Skripsi pada
Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak
dipubliasikan
Wahyu, A. 2002. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan di Hutan Alam Gunung Karang,
Pandeglalng, Banten. Skripsi pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan
Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East.
Oxford: Clarendon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar